Kamis, 16 Februari 2012

Sebuah Kado untuk Lastri



Dalam kamar sebuah rumah petak kumuh yang selalu diributkan oleh suara riuh orang lalu lalang, teriakan anak-anak yang sedang bermain dan para penjual makanan yang penuh nafsu menawarkan dagangannya, Lastri terbangun dari tidur pulasnya. Kedua bola matanya yang indah mengerjap, bibirnya yang merah alami menguap karena masih mengantuk.

Tapi Lastri harus segera bersiap untuk pergi bekerja. Tugas malam seperti biasa. Lastri mengumpulkan semangat yang ada untuk kembali bergumul dengan tubuh-tubuh berbau jigong yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama untuk ditukarkan dengan lembar lembar rupiah demi kebutuhan hidupnya: makan sehari-hari, membayar uang kontrakan dan tentu saja membiayai kehidupan keluarganya di kampung.

Terkadang ingin berhenti saja, mencari pekerjaan yang layak di matanya dan di ‘mata’ masyarakat, terlebih di mata orang tuanya yang jauh di sana—yang tidak tahu menahu apa pekerjaannya saat ini. Ah, tetapi sama saja, kedatangannya di tempat ini toh, karena janji seseorang untuk mempekerjakannya di sebuah tempat yang mapan. Sebuah perusahaan roti, katanya.

Namun pada suatu malam jahanam  telah membuat Lastri menginjakkan kakinya di tempat ini. Hanya karena Lastri cantik. Hanya karena ia aduhai. Hanya karena ia bodoh. Hanya karena ia percaya kepada makelar tubuh yang membawanya sampai di tangan seorang juragan. Hanya karena… ah, mengingat semua itu, hanya akan membuatnya bersedih dan tidak bisa melakukan apa-apa. Sementara orang tua satu-satunya di kampung, dan anaknya yang baru berumur 7 tahun butuh makan dan sekolah. Siapa lagi yang akan membiayai kehidupan anaknya yang masih kecil dan ibunya yang sudah renta jika bukan dirinya sendiri.

“Ah, sudahlah…,” gumam Lastri bangkit dari ranjang.

Lastri baru saja menyampirkan handuk bersih di bahunya, saat pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.

“Selamat sore. Maaf, aku datang lagi, Las,” sapa seseorang.

“Ada apa lagi? Ya, sudah silahkan duduk. Aku mau mandi dulu.”jawab Lastri sambil menuju kamar mandi.

“Eh, aku sebentar saja, kok. Hanya ingin menitipkan ini,” kata laki-laki itu sambil menyerahkan sebuah bingkisan.

Lastri menerimanya dengan ragu-ragu, sambil menatap bingkisan ditangannya tanpa ekspresi. Tapi mau tidak mau ia harus menerimanya. Semakin cepat diterima semakin baik supaya laki-laki itu dapat lebih cepat pergi dari kamar ini. Sebab, melihat lama-lama laki-laki di depannya hanya akan membuat hatinya bertambah perih.

Jujur, jauh di lubuk hatinya ia sangat menghargai laki-laki itu. Laki-laki yang sebaya dengannya. Laki-laki yang selalu kikuk setiap datang di tempat tugasnya: di sebuah kamar remang tempat para ‘penyuka jajan’ singgah dan menikmati pelayanannya. Laki-laki yang bahkan tidak pernah mau menikmati tubuhnya.

“Kalau hanya untuk mengobrol, kenapa kamu datang kemari?” tanya Lastri malam itu kepada calon pelanggannya. “Apa kamu jijik?”

“Aku tidak biasa. Kamu tahu, aku menenggak beberapa botol bir tadi tapi ternyata aku masih grogi juga. Apa kamu keberatan jika menemaniku di sini?” jawab laki-laki setengah teler itu.

“Aku tidak enak sama yang lain. Kalau mau ngobrol sama yang lain saja. Kamu bisa ke tempat karaoke, Bar, atau menikmati makanan di restoran, atau bertamu baik-baik di rumah. Kamu itu aneh, di sini itu tempat orang jualan lendir, Mas?” Lastri duduk di sisi ranjang sambil menyalakan sebatang mild untuknya sendiri. Laki-laki yang diajaknya bicara hanya tersenyum menatapnya.

“Kamu mengingatkanku pada seseorang. Kenapa kamu bisa sampai di tempat seperti ini?”

“Ah, basi. Laki-laki kalau ada maunya begitu. Sudahlah itu bukan urusanmu. Ayolah, sebentar lagi ada pelangganku akan datang . Kamu sudah cukup lama di sini…,” Lastri tersenyum. Agak sinis. Pelan-pelan ia hembuskan asap mild rendah tar itu.

“Tadi aku sudah bilang mami, kamu ku ‘booking’ malam ini, ” jawab laki-laki itu dengan santai membela diri.

Laki-laki itu tidak berbohong sedikitpun. Malam itu Lastri diperbolehkan semalaman keluar bersama laki-laki yang diketahui bernama Dampar itu. Mereka menghabiskan sisa malam itu di sebuah kafe kecil di dekat pantai. Entah mengapa Lastri merasa baru sekali itu ada orang yang menghargai dirinya lebih dari siapapun. Cara Dampar memperlakukannya, tidak seperti orang-orag lain memperlakukannya. Dampar seolah tak pernah menganggap dirinya sebagai seorang PSK.

Malam itu Lastri merasa dirinya adalah benar-benar perempuan. Ia teringat akan mantan suaminya yang meninggal beberapa tahun lalu. Suami yang pernah memperlakukanya sebagai isteri yang baik. Betapapun kehidupannya nyaris jauh dari cukup, tapi keluarganya cukup bahagia kala itu. Namun sayang maut merenggut nyawa suaminya, justru di saat dia benar-benar butuh perlindungan, dengan anak yang masih kecil, dan seorang ibu yang mulai menua.

“Lho, kamu lagi melamun, ya?” suara Dampar menggugah lamunan Lastri.

“Katanya mau mandi, aku cuma sebentar, kok. Tapi mohon, terimalah ini, “lanjut Dampar kemudian.

“Apa ini, kamu nggak usah repot-repot,” timpal Lastri.

Dampar tersenyum. Ia memandang Lastri, dan mengatakan sesuatu yang pernah ditolak Lastri sebelumnya. Tapi hari itu terasa lain: ada sesuatu yang bahkan dirinya sendiri kurang mengingatnya, tapi Dampar telah mengingatkanya.

“Eh, apa kamu lupa? Ini hari jadimu. Selamat ulang tahun, ya?” Dampar mengulurkan jabat tangannya dan Lastri menyambutnya sambil tergangga. Belum sempat Lastri menanggapinya Dampar terburu melanjutkan kata-katanya.

“Aku serius, saat mengajakmu menikah malam itu. Begitu juga hari ini….”

Lastri terbungkam. Ia pernah mendengar Dampar mengajaknya menikah. Tapi Lastri tidak pernah yakin dengan mulut laki-laki berbau alkohol. Lagi pula, orang tua mana yang bersedia menerima menantu seorang pelacur seperti dirinya. Tapi hari ini, sesore ini, saat dirinya bisa menatap kelelahan teramat sangat di wajah lelaki di depannya, bulu kuduknya merinding. Sungguh, ada yang berdesir haru di dalam dirinya, saat ia mendengar lagi permintaan itu, tepat di hari ulang tahunnya.

“Tapi… tapi, “ Lastri tiba-tiba tergagap. Namun Dampar keburu pergi.

“Sudah terima saja. Aku buru-buru, semoga malam nanti kita ketemu, “ kata Dampar sambil pamit pergi.

“Terimakasih, ya…” kata Lastri lirih. Lirih sekali.

Lastri terduduk di ranjangnya, memandangi kado ulang tahun yang baru saja diberikan Dampar. Ia menunda keinginan untuk mandi. Tangan lentiknya pelan-pelan membuka bingkisan itu. Dirinya bercampur haru dan penasaran. Di pipinya air bening merembes dari sudut matanya yang terkoyak. Sudah lama, ia bahkan tak bisa menangis. Sudah lama, ia bahkan menelan nasibnya mentah-mentah, tapi hari ini, ya Tuhan… apa yang terjadi? Di dalam bingkisan itu Lastri mendapati sebuah ucapan dengan tulisan tangan:

“Selamat hari jadi. Semoga hidupmu indah hari ini. Semoga pada saatnya nanti, Tuhan membuat segalanya menjadi indah untuk kita. Amin.”

Lastri mengusap air mata di pipinya. Dikuat-kuatkan rasa harunya untuk membuka bungkusan di bawah kertas itu. Apakah masih ada seseorang yang pantas bagi sampah masyarakat semacam aku?, batinnya sambil merobek bungkusan kertas berwana putih itu. Lastri benar-benar tergugu di atas ranjangnya. Ia ingin menangis sejadi-jadinya. Ada perasaan mengharu biru yang menyesakkan dada. Ia semakin menjadi-jadi,  tubuhnya gemetar oleh perasaan haru bercampur bahagia. Bahagia? Entahlah. Ia hanya ingin memeluk Dampar saat itu.

“Duh, Gusti. Terimakasih. Mungkin Engkau telah memberikan hidayah tepat disaat ulang tahunku, dengan  mengirimkan seseorang yang akan membawaku pergi dari lembah nista, ini sebuah kado terindah dariMu….”

Lastri makin tergugu. Ia mendekap sebuah Alqur’an hadiah dari Dampar


____


theme song Mata Dewa - Iwan Fals 
Kolaborasi cerpen Coretan Embun dan Tjak Parlan 
also published Kompasiana

Tidak ada komentar: