Kamis, 16 Februari 2012

Mawar Merah Jambu






Embun masih betah mendekap erat di belahan bumi kota Bandung, tak terkecuali pagi ini dimana udara dingin masih menusuk-nusuk menembus tulang. Namun sebuah kios bunga di suatu sudut jalan, nampak sudah menggeliat bangun dan bergegas menyongsong bias mentari yang mulai merangkak dari ufuk Timur.


Masih seperti biasanya juga, seorang gadis harus mengurus bunga-bunga yang berserakan. Bunga bunga aneka macam itu harus ditata ulang agar terlihat menarik bahkan sangat menarik, untuk memikat para pecinta abadi yaitu bunga.

Ditemani suara ribut khas pagi hari kota Bandung, gadis itu mulai memompa semangatnya, tangannya lincah bermain di antara tumpukan aneka macam bunga lili, mawar, melati dan banyak lagi, sesekali dia juga harus mengusap keningnya, karena bulir peluh yang menetes…


Dia adalah Nilam, gadis cantik bermata indah, penjual bunga di sebuah sudut kota Bandung. Nilam sangat menyukai pekerjaannya sebagai penjual berbagai macam bunga, baginya bunga adalah simbol keabadian, karena wangi bunga tidak akan habis dimakan waktu, sampai kapan pun wangi itu tidak akan berubah. 

____ 

Pada pagi yang lain Nilam pergi bekerja seperti biasa, disaat yang sama kala embun masih mendekap dan hawa dingin menyeruak. Sesaat setelah Nilam tiba di kios bunga tempatnya bekerja nampak seorang pemuda yang sangat dikenalnya telah menunggu di bangku yang ada di pelataran parkir. Nilam menjadi sedikit gugup dan merasa bersalah karena pelanggan setianya datang mendahuluinya datang ke kios ini. Pemuda itu tersenyum melihat Nilam tergopoh gopoh bergegas membuka kios, nampaknya dia sudah menunggu lumayan lama.

“Biar, saya bantu...,” kata pemuda itu menawarkan jasa.

 “Terima kasih…,”ujar Nilam sambil tersenyum.

Pemuda itu adalah pelanggan setianya, biasanya dia membeli sebuket bunga Lili putih untuk menziarahi makam ibunya, tapi belakangan ini yang di belinya selain Lili adalah mawar merah jambu. Dia sedang jatuh cinta, pikir Nilam.

“Biasa mba..selain Lili saya juga ambil mawar yang merah jambu,” katanya sambil tersenyum pada Nilam.

Wajah pemuda itu berseri-seri, wajah seorang yang sedang jatuh cinta. Pemuda itu menjadi penyemangat Nilam setiap hari dalam memulai bekerja menjual bunga. Wajah tampan itu selalu menghiasi hari-harinya. Tapi Nilam hanya bisa memandang tanpa berani berbuat banyak. Nilam sadar dia hanya gadis penjual bunga biasa, melihat pemuda ini datang ke kios bunga pun sudah sangat bersyukur, paling tidak ada yang membeli bunga-bunganya.


 _____ 

Lama kelamaan merekapun saling mengenal walau komunikasi hanya sebatas hubungan antara pembeli dan penjual bunga. Pembicaraanpun hanya mengenai obrolan-obrolan singkat. Panca nama pemuda itu, mahasiswa semester akhir pada sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Bandung, sekarang Panca sedang melakukan pendekatan dengan seorang mahasiswi baru di tempatnya kuliah. Dan dia baru saja berkabung, belum 40 hari ibundanya meninggalkan dirinya untuk selamanya. Itulah yang diketahui Nilam sedikit tentang Panca.

Nilam kembali menyeka keringat pada dahinya dan kembali merapikan aneka bunga yang berserakan. Hari ini Panca datang lagi ke toko bunga tempat Nilam bekerja. Sepertinya hari ini Panca akan sangat kecewa karena mawar merah jambu yang dibelinya kosong. Tanpa Nilam sadari Panca sudah berdiri di hadapannya.

“Maaf mas, tidak ada mawar merah jambu hari ini, tapi buket bunga Lili nya sudah saya siapkan,” kata Nilam.

“Sebenarnya saya tidak ingin membeli sebuket mawar merah jambu lagi,”kata Panca lalu terdiam.

“Mungkin ada pilihan lain,” kata Nilam sambil tersenyum dan menatap Panca.

Diluar dugaan Nilam, rupanya Panca sedang memandang wajahnya lekat. Panca memandang Nilam hampir tidak berkedip. Dipandang seperti itu Nilam menjadi jengah, dia pun menundukkan kepalanya tanpa berusaha bicara lagi kepada Panca.

“Nilam..bolehkan aku menyampaikan sesuatu kepadamu?,” suara Panca memecah keheningan. Tidak sepatah katapun keluar dari bibir mungil Nilam, dia hanya bisa mengangguk sambil menundukkan kepala dan wajah bersemu memerah.

“Nilam, aku suka padamu,” terdengar suara Panca setengah berbisik. Tapi bisikan itu bagi Nilam seperti bunyi petir yang menggelegar di pagi yang cerah.

 “Panca..aku cuma seorang gadis penjual bunga,” kata Nilam terbata bata dan Panca menatapnya semakin tajam, menusuk jantung.

 “Maukah kamu menjadi kekasihku,” kata Panca setengah berbisik.

 Nilam berdiri, dan menggapai tongkat penyangga kakinya yang cacat. Nilam kehilangan sebuah kakinya karena kecelakaan. Gadis itu membalas pandangan Panca dengan lembut. “Maafkan aku Panca…,” kata Nilam beranjak meninggalkan pemuda itu. Panca hanya diam. Tetapi dia berjanji tetap akan setia mengunjungi Nilam di toko bunga ini setiap hari sampai Nilam menerima cintanya. Panca tidak akan pernah menyerah.


 _____
theme song  Fur Elise - Beethoven
cerpen kolaborasi Coretan Embun dan Ndynata Ega
also published : Kompasiana

Tidak ada komentar: