Jumat, 03 April 2015

Korban Online

cewek-laptop-300x224.jpg (300×224)



Saat pagi, sebelum gue memulai kegiatan setiap harinya. Kebiasaan gue adalah bikin kopi, nyomot pisang goreng buatan emak gue trus online deh.

‘Click’...*suara power PC gue nyalain.

Online adalah kegiatan gue setiap hari. Khususnya pagi hari, ya iyalah, masak seharian online. Gada kerjaan apa? Dan buat gue, tiada hari tanpa online. Kalo gak online sehari kayak ada yang ilang dalam hidup gue. Apalagi kalo internet tiba-tiba mati, entah karena gak ada pulsa atau karena koneksinya memang lagi bermasalah. Bisa-bisa gue stress dan uring-uringan. Merana banget deh pokoknya.

Gak lama kemudian koneksi gue dengan dunia maya pun tersambung. Dengan semangat membabi buta gue langsung buka YM, Facebook, twitter dan kompasiana dong pastinya. Kalo udah gitu gue gak peduli lagi sama emak gue yang lagi membabu buta ngurus pekerjaan rumah tangga.

Begitu YM kebuka, ternyata ada pesen alias message. Gak perlu kaget karena gue memang punya beberapa pacar di dunia maya. Pesen dateng dari Rido, gini bunyinya :

‘ Babe, kita ketemuan dong. Sombong amat siy dirimu? Susah amat diajak ketemuan aja ‘

Langsung gue jawab :

‘ Sorry…sorry. Hari ini gak bisa babe. Soalnya aku ada kuliah sampe soreee banget. Trus tugas-tugas kuliah numpuk pula. Sometimes lah babe…suatu saat kita pasti ketemuan kok. Sabar yah…’


Untungnya Rido pas lagi gak online juga, jadi pembicaraan di YM gak berlanjut.
Berikutnya gue buka Facebook, ternyata ada yang nulis sesuatu di timeline gue. 

Bagas nulis begini :

‘ Say, jadi kan nanti siang kita kopdar?’ 

Buset nih cowo ngajak kopdar pake nulis di timeline. Ketauan banget kita kenalannya di facebook. Dasar dodol…*

Langsung gue komen di bawahnya :

‘ Wah sorry…sorry keknya gak bisa hari ini deh. Soalnya aku harus anter mami arisan.’ 


Gaya banget yak gue, padahal gue biasa panggil ibu gue "Emak."

Masih di Facebook, ternyata ada yang kirim inbox juga. Dari Rendy dan dia nulis gini :

‘ Hon, itu siapa sih cowo yang namanya Bagas? Kok pake ngajak kopdar segala. Kamu selingkuh ya hon? Trus kapan kopdar sama aku, hon?’

Halah...halah ni cowo, belum jadi pacar beneran aja udah nge-judge gue selingkuh.

Hmm...buru-buru gue balesin inbox-nya :

‘ Sorry hon, bukan siapa-siapa kok. Memang mao lagi ada acara kopdaran di Blogger. Jadi gak cuma aku kok yang kopdar tapi banyakan orang, gitu lowh?’


Akhirnya gue mikir nih. Gimana ngaturnya? Karena pacar-pacar gue di dunia maya menuntut ketemuan nih. Ya wajarlah, Foto profil gue memang menggiurkan. Seksi abess dengan dandanan cewe kosmopolitan masa kini. Padahal foto-foto itu gue comot dari Mbah Gugel (*). Hadeuh...jadi mumet gue nih. Sumpee deh.

‘Krompyanggg’

Keknya emak gue njatohin panci noh. Tapi seperti biasa gue cueklah. Karena online lebih penting ya bok.

Alamakkk..., emak gue udah berdiri di samping gue sambil angkat gagang sapu. Trus, siap-siap ngegebuk gue bok.

Tiba-tiba Emak gue pun berteriak histeris...

” Jupriiiiiii...ampun dj deh lu ya? Gak ngeliat apa emak lu rempong (**) abis gini? Bukannya bantuin kek malah asik-asik onlen lu ! Percuma lu jadi anak lakiii!!


Sorry jek, udah dulu ya ceritanya, coz emak gue ngamuk. Lagi PMS kali...


***
(*)Mbah Gugel = Google
(**)rempong = repot




***

Makasih sudah baca...
Lagi pengen santai..:D, jadi mohon maaf kalo cermin kali ini tidak pakai EYD dan sesuai KBBI :P….Wªª…kªª…Kªª…kªª…Kªª…kªª







Sabtu, 14 Februari 2015

Otak Kanan Poetry

1423946221632388244



***
“Sebaiknya Anda ikut Saya. Nama Anda Poetry?”

“Nama lengkap Saya, Poetry Wulan Merindu. Cukup panggil Poetry.”

Belum sempat Poetry bertanya, laki-laki yang mengetahui namanya itu langsung menariknya. Menuju motor yang terparkir tidak jauh dari mereka bertemu. Ia memberi kode pada Poetry untuk segera naik.

Motor itu dilarikan sekencang-kencangnya. Menembus malam. Hawa dingin menusuk tulang. Mereka melintasi Jalan Raya yang lenggang pada sebuah gurun yang gelap. Semburan udara dingin membuat wajah Poetry membeku. Tapi yang penting ada seseorang yang menolongnya dari kejaran pihak berwajib.

Dari kejauhan Poetry melihat cahaya berkilauan. Seperti sebuah kota atau entah apa. Poetry tidak dapat memastikan, apakah itu tempat yang menyenangkan ataukah tempat yang akan memberinya mimpi buruk.

“Anda akan aman di tempat Saya.”

Poetry hanya diam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin hanya laki-laki ini yang dapat menolongnya keluar dari masalah.

Sampailah mereka pada sebuah rumah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Pintu gerbang terbuka secara otomatis, motor yang mereka kendarai lalu melesat masuk.

Sudah ada seseorang yang berdiri di ambang pintu rumah. Sepertinya memang sudah terbiasa menyambut kedatangan laki-laki ini. Poetry semakin yakin laki-laki yang bersamanya adalah pemilik rumah.

Laki-laki di pintu tadi membungkukkan badan lalu mempersilakan masuk. Mereka bertiga menyusuri koridor yang panjang. Terdengar suara-suara di sepanjang koridor. Poetry berusaha keras menangkap suara-suara tersebut. Sayup-sayup terdengar seperti banyak orang berkata ‘Selamat datang di rumah data’…’Selamat datang di rumah data’… suara-suara itu terdengar berulang-ulang. Laki-laki itu menangkap mimik Poetry yang mulai bingung.

“Abaikan. Anda aman di sini.”

“Apakah ini tempat legal? Saya takut tertangkap lagi.”

“Di sini Anda aman. Percayalah. Saya mengerti kekhawatiran Anda.”

Laki-laki tadi mengeluarkan ponsel lalu menghubungi seseorang. Mereka bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak dimengerti Poetry. Laki-laki tadi memberi isyarat kepada Poetry supaya mengikutinya, sambil tetap menelepon. Sampailah mereka pada sebuah pintu yang besar, kemudian pintu itu terbuka. Di dalam banyak sekali orang-orang sedang berkumpul. Poetry disambut oleh wanita-wanita yang berpakaian seperti peri. Mereka bersayap seperti bidadari.

Seorang pelayan menghampiri,

“Tolong bawakan Saya anggur,” kata laki-laki itu. Tanpa bicara pelayan tadi mengangguk.

Poetry menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Langit langitnya terbuat dari kaca, sehingga Poetry bisa langsung bertatapan dengan bulan. Di tengah tengah ruangan terdapat air mancur yang bisa langsung diminum. Karena airnya terbuat dari anggur.

Seseorang mendekati Poetry. Seorang wanita yang nampaknya lebih tua darinya.

“Kamu datang bersama Kapten?”

“Siapa Kapten?”

“Laki-laki itu, yang datang bersamamu. Dia pemilik tempat ini.”

“Begitu?” kata Poetry, wanita tadi menggangguk.

Tiba-tiba lengan Poetry dicengkeram dengan keras. Laki-laki yang dipanggil ‘Kapten’ tadi sudah berada di sampingnya. Lalu berkata dengan nada sedikit kasar,

“Jauhi perempuan gila ini.”
Wanita itu hanya menyeringai. Sambil berlalu, dia lalu berkata pada Poetry sambil tertawa,

“Anda tidak pernah bisa pergi dari sini, Nona,” Perempuan itu kembali terbahak.


***

‘Kapten’ memberinya sebuah kamar dalam rumah ini. Cukup luas dengan perabot besar, seperti kamar-kamar kastil Dracula. Tapi Poetry tidak dapat memejamkan mata. Poetry ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di rumah ini. Terlebih setelah pertemuannya dengan wanita yang dianggap gila tadi.

Poetry menyelinap keluar kamar. Kembali terdengar suara-suara aneh. Seperti yang didengarnya pada saat memasuki rumah ini. Dia lalu mengikuti dari mana suara-suara itu berasal. Sampailah dia pada sebuah tangga menuju ruang bawah tanah.

Di ruang bawah tanah berupa sebuah lorong. Keadaannya seperti Rumah Sakit dengan lampu neon yang sangat terang. Banyak terdapat pintu. Poetry mencoba membukanya. Tapi semua terkunci. Hanya satu yang tidak terkunci. Ruang itu sepertinya adalah ruang tindakan. Beruntung ada sebuah jendela kaca berukuran kecil pada pintunya. Sehingga Poetry dapat melihat apa yang sedang terjadi di dalam ruangan tersebut.

Beberapa orang yang nampaknya seperti ahli medis rupanya sedang melakukan proses operasi pada seseorang.

“Selamat datang di rumah data,” perempuan yang dianggap gila tadi tiba-tiba sudah berdiri di samping Poetry sambil menyeringai.

“Siapa Anda?”

“Tidak penting, Nona. Aku lupa namaku sendiri. Tapi Anda bisa memanggilku DDT12.”

“Anda tidak punya nama?”

“Dulu punya, sekarang lupa. Semenjak para medis di ruang operasi itu mencuci otakku.”

“Maksud Anda? Apa yang terjadi di sini?”

“Psstt…jangan berteriak.”

“Siapa di luar?” terdengar suara dari dalam ruang tindakan. Wanita bernama DDT12 menarik Poetry lari menyusuri lorong-lorong bawah tanah. Wanita ini sepertinya sudah mengenal seluk beluk tempat ini. Ujung dari salah satu lorong adalah sebuah pintu kaca yang menghubungkan ruang bawah tanah dengan taman belakang.

“Di taman ini aman?”

“Tidak juga. Karena, Kapten sedang mengawasi kita dari camera CCTV. Dia memang senang bermain-main dulu dengan para tawanannya.”

“Tawanan, katamu?”
Wanita itu kembali tertawa. Kemudian kembali bicara dengan mimik serius.

“Ya…kita adalah tawanan sang Kapten. Apabila kita nampak seperti sudah bisa melarikan diri dari sini, anjing anjing Rottweiler yang sudah dilatih menjadi buas akan mengoyak-ngoyak tubuh kita.”
Poetry tergidik membayangkan tubuhnya terkoyak dan jadi santapan anjing.

“Lalu…?”

“Saya dan yang lainnya adalah tawanan di sini. Termasuk Anda. Walaupun Anda belum dicuci otak. Hanya masalah waktu.”

“Dicuci otak?”

“Ya. Saran Saya, larilah sebelum Kapten mencuci otak Anda.”

“Kenapa Kapten ingin mencuci otak Saya?”

“Karena Anda adalah Poetry Wulan Merindu. Menurut Kapten, seperti yang saya dengar, otak kanan Anda lebih dominan daripada otak kiri. Itu sebabnyna Anda sekarang berada di sini. Karena Kapten menginginkan otak kanan Anda untuk kesempurnaan pola pikirnya.

“Itu sebabnya Kapten ingin mencuci otak Saya?”

“Cukup jelaskan? Dan sekarang sebaiknya Anda lari.”

“Bagaimana caranya?”

“Panjatlah tembok di belakang ini. Tapi di sana sudah menanti sekawanan anjing anjing Rottweiler yang kelaparan. Anda siap?”

Tiba-tiba Sirine berbunyi. Poetry dan DDT12 disorot dengan sebuah lampu yang sangat menyilaukan. Mereka berdua diminta untuk menyerah. Mereka sudah terkepung. Pihak keamanan langsung menangkap mereka berdua, yang terindikasi akan melarikan diri. Sang Kapten, lalu berdiri di hadapan mereka berdua sambil bertepuk tangan.

“Bravo…bravo. Usaha yang bagus, DDT12.”

Pupil mata DDT12 bergerak ke sana ke mari seperti sedang mancari akal.

“Kapten, Wanita ini bohong. Dia bukan Poetry Wulan Merindu. Percayalah. Atau silahkan buktikan sendiri.”

“Saya tidak mungkin salah. Saya sudah mengamati gerak gerik Wanita ini sebelumnya. Dia sedang dicari-cari karena harus dideportasi dari negara ini. Poetry Wulan Merindu dari Negeri Imaji.”

“Anda percaya?”

Sang Kapten nampak gusar. Lalu berteriak pada petugas keamanan untuk membawa Poetry ke ruang tindakan. Pemeriksaan pun dilakukan.

Poetry dibaringkan di atas meja operasi. Beberapa ahli medis bersiap-siap memeriksa otaknya. Satu jam berlalu, 2 jam, 3 jam. Hampir  selama 6 jam pemeriksaan Poetry tidak kunjung selesai.

Kapten mulai gelisah. Kadar otak kanan Kapten mulai menipis. Hal ini akan membuatnya tidak bahagia. Daya intuitif, kreatif dan artistiknya akan melemah. Bila sudah begitu bagaimana Dia dapat membayangkan para bidadari bersayap dalam visualisasi imajinasinya.

Salah satu ahli medis mendatangi sang kapten,

“Sepertinya ada kesalahan, Kapten. Wanita ini bukan Poetry Wulan Merindu. Kalaupun wanita ini adalah yang dimaksud, keadaannya sangat tidak memungkinkan untuk diambil otak kanannya. 100% Wanita ini hanya mempunyai otak kiri. Otaknya hanya berisi data.”

Kapten mengepalkan tangannya dengan geram.


***

Keesokan harinya.

Poetry Wulan Merindu diserahkan kepada pihak berwajib Negeri Rasional oleh Sang Kapten. Wanita ini harus segera dideportasi karena Undang Undang 
di Negeri Rasional melarang siapapun juga yang mempunyai kandungan otak kanan lebih besar untuk masuk ke negara Rasional. Alasannya karena dapat diduga akan mengacaukan negara Rasional dengan ilusi ilusi nya yang tidak masuk akal.

“Terima kasih DDT12. Kamu baik, sudah memberi sedikit informasi. Selama di ruang operasi kemarin, Saya berusaha keras mengisi otak kanan ini dengan membayangkan data-data.”



***
Keep Calm and Write ON ;) … Salam