Sabtu, 09 November 2013

Seda Mutieva



Sore yang dingin di suatu taman kota Grozny, Chechnya. Aku sedang menunggu seseorang di taman ini. Seorang laki-laki yang berasal dari sebuah negara di Asia, Indonesia. Ia datang ke negaraku sebagai seorang photographer yang tertarik mengabadikan lebih jauh budaya tradisional Chechnya. Aku mulai cemas ia tidak jadi menemuiku saat ini. Dan membatalkan seluruh rencanaku dengannya. Sebuah rencana tentang masa depan…..

Pertemuan pertamaku dengannya terjadi saat aku dan beberapa penari tradisional sedang berlatih di sebuah studio senitari Grozny. Pada saat itu ia datang ke studio dengan menggunakan taksi bandara. Ia datang atas undangan dari Amina Ibraginova, pemilik studio tempat kami berlatih menari. Amina dan laki-laki itu masih mempunyai hubungan kekerabatan.

” Good afternoon, I have appointment with Amina Ibraginova,” kata laki-laki yang lalu kukenal bernama Djoko.

” Please waiting here sir, Amina Ibraginova already in her office room,” kataku sambil mempersilahkannya duduk di kursi panjang yang berhadapan dengan tempat kami berlatih menari.

Ia memandangku lalu tersenyum hangat. Ada sesuatu yang aneh pada diriku. Degub jantungku berdetak kencang memicu aliran darah yang membuat kedua pipiku bersemu memerah. Aku belum pernah dipandangi lelaki seperti ini.

Bagi perempuan Chechnya berhubungan dengan lelaki adalah hal yang tabu dan dilarang. Negara ikut mengatur hal ini, dan bila dilanggar akan ada hukuman berupa sanksi sosial. Sepasang kekasih yang berkencan harus bertemu di tempat umum dan duduk saling berjauhan. Berpegangan tangan, berpelukan apalagi berciuman dilarang keras sebelum pernikahan.

Setelah mempersilahkan lelaki itu menunggu, aku pun menuju ruangan miss Amina Ibraginova untuk memberitahu tentang kedatangan tamunya.

” Miss Amina already waiting for you sir, you don’t need to knock - just go into her room.”

” Okay, thanks. Just call me Djoko, I’m her cousin,” katanya sambil kembali tersenyum. Senyum itu mampu membuatku meleleh. ” What’s your name miss?” katanya kemudian sambil menatap lekat wajahku.

” Seda Mutieva,” kataku singkat sambil menundukkan wajah untuk menyembunyikan rona merah pipiku dan berlalu dari hadapan laki-laki yang berumur sekitar 30an itu.

Itulah awal pertemuanku dengan Djoko. Nama yang sangat Indonesia, menurut laki-laki itu. Djoko masih berdarah Rusia dari pihak ibu. Sementara Ayahnya berdarah campuran Jawa Solo dan Manado. Nama lengkapnya Miko Djokovic dan ia lebih suka dipanggil Djoko.

Djoko sangat mencintai hal-hal yang berbau seni dan kebudayaan. Di negaranya Indonesia, terdapat berbagai macam suku agama dan budaya yang beraneka ragam. Hal ini membuat Djokovic lebih suka menjadi warga negara Indonesia daripada menjadi warga negara Rusia.

***

Sore itu setelah pulang berlatih menari aku menyusuri jalanan kaki lima kota Grozny yang dingin dan lembab. Gerimis mulai turun dan aku mempercepat langkah kakiku. Kudengar seseorang berlari di belakangku dan memanggil namaku. Aku pun menoleh ke belakang dan melihat Djokovic sedang melambaikan tangan padaku.

Langkahku terhenti, sesaat kemudian Djokovic sudah berdiri tepat di depanku. Sangat dekat. Kedua mata kami saling menatap lekat dan aku kembali merasakan detak jantungku berdegub kencang. Aku berharap dia tidak mendengarnya. Aku mundur beberapa langkah dan memberi isyarat padanya untuk menjaga jarak. Aku tidak ingin mendapat masalah dengan pihak berwenang. Aku benar-benar takut melanggar hukum. Di Chechnya saat ini sedang mengalami proses perubahan bentuk budaya masyarakat setempat. Yang awalnya 
beraliran komunis kini beralih menganut paham Islamisasi yang fanatik.

Setelah hampir dua dekade jauh dari rasa damai akibat peperangan. Dan kurang lebih 70 tahun berada di bawah tekanan pemerintahan Uni Soviet. Pada saat itu segala bentuk partisipasi keagamaan dilarang oleh pemerintah Soviet yang beraliran komunis. Dan kini pemerintah negaraku mempromosikan Islam untuk memperkuat tradisi Chechnya.

” Can I call you latter miss Seda, what’s your number?” Ia bertanya padaku. Suaranya tegas tapi sangat lembut hingga membelai kedua gendang telingaku. Aku mengangguk lalu mengambil sebuah kertas dari dalam tas, secarik kertas bekas struk belanjaan. Aku pun menuliskan nomer ponselku lalu cepat-cepat kuserahkan secarik kertas itu padanya. Aku berbalik lalu pergi meninggalkannya dengan setengah berlari karena hujan mulai deras.

” Thank youuu !” Kudengar Djokovic berteriak hingga gaungnya memantul di sepanjang lorong jalanan yang kulalui. Aku berbalik, melambaikan tangan dan tersenyum padanya dari kejauhan. Lelaki yang menarik.

***

Keesokan harinya…..

Amina Ibraginova, siang itu mengadakan rapat kecil. Wanita itu memberitahukan pada kami bahwa pemerintah Chechnya masih belum mengijinkan pementasan tarian kami yang akan berlangsung minggu depan. Kami, para penari sudah tentu merasa kecewa. Tapi yang membuatku senang adalah Djokovic jadi lebih lama berada di Grozny.

” Hello..” Suara khas Djokovic menyadarkanku pada lamunan akan dirinya.

” Hi, how are you?” Kataku membalas teguran ramahnya. Laki-laki ini makin menarik hatiku. Ia mulai bercerita panjang lebar meluruhkan segala sekat yang ada hingga aku merasa akrab dan nyaman ngobrol dengannya.

” Someday you must visit to Indonesia, the most beautiful country.”

” Yes I wish gonna be there, someday,” kataku bersemangat setelah mendengar cerita tentang keindahan budaya Bali yang terkenal dengan tari pendet dan kecak. Ataupun tentang kultur budaya jawa yang memiliki berbagai macam tarian yang tak kalah menariknya.

Pertemuan demi pertemuanku dengan Djokovic berjalan lancar. Hingga aku semakin giat berlatih menari. Djokovic selalu meluangkan waktunya untuk sekedar ngobrol denganku. Sambil sesekali mengambil foto-foto kami untuk dijadikan dokumentasinya.

Aku dan teman-temanku sesama penari tetap dengan suka cita berlatih. Walaupun pementasan tarian kami belum mendapat ijin dari pemerintah Chechnya. Entahlah, sepertinya terdapat banyak kecurigaan dari pihak berwenang atas segala kegiatan yang berlangsung di Chechnya. Terutama bila kegiatan tersebut diliput oleh jurnalis asing atau para aktivis hak asasi manusia.

Di Chechnya, rata-rata para perempuan tidak sampai menyelesaikan pendidikannya. Sebagian dari mereka kadang harus menikah dalam usia yang relatif sangat muda. Setelah menikah perempuan Chechnya adalah properti milik suami mereka. Hal ini yang membuatku berontak walau hanya dalam hati. Karena aku ingin dapat meneruskan sekolah untuk menggapai cita-citaku dan juga menjadi penari profesional. Aku tidak ingin cita-citaku kandas hanya karena harus menikah muda, sesuai tradisi di negara ini.

Ibra Isaev baru berusia 20th, dia adalah calon suamiku. Kedua orang tuaku memutuskan untuk menikahkanku dengan Ibra Isaev. Aku sendiri baru berusia 18th. Aku tidak mengenal laki-laki itu sama sekali. Melihat wajahnya pun belum pernah. Lalu bagaimana aku dapat mencintai laki-laki itu. Yang ada dalam pikiran dan hatiku saat ini adalah Miko Djokovic. Laki-laki asing yang mampu membuatku selalu memikirkannya.

Jiwaku mulai berontak. Aku tidak akan menikah dengan Ibra Isaev. Aku akan menemui Miko Djokovic untuk membicarakan hal ini. Aku yakin Djokovic bisa menolongku untuk mendukung meraih cita-citaku. Laki-laki itu mempunyai kesamaan cara pandang denganku. Djokovic adalah seorang yang cerdas dan hal ini membuatku sangat nyaman berdiskusi dengannya. Pandangan hidupnya membuatku terpesona padanya. Ia juga sangat menghargai perempuan tanpa harus membatasi hak-haknya. Menurutnya perempuan juga harus mendapat hak yang sama untuk maju dan berkembang.

Kami pun bertemu secara sembunyi-sembunyi di sebuah tempat yang jauh dari keramaian publik. Sebuah rencana telah tersusun antara aku dan Djokovic. Rencana untuk membatalkan pernikahanku dengan Ibra Isaev, lelaki yang tidak aku ketahui wujud dan pribadinya.

” Miss Seda, are you ready dear ?” Suara Djokovic memecah kesunyian taman kota Grozny. Aku mengangguk dan memberi isyarat padanya agar segera meninggalkan taman kota ini. 

Taksi yang kami tumpangi lalu melesat menuju Bandara Internasional Grozny.
Dengan bantuan Amina Ibraginova, Djokovic mengurus passport-ku untuk dapat meninggalkan Grozny dan pergi bersamanya.

” Selamat tinggal Chechnya….” kuucapkan selamat tinggal pada negaraku dari jendela pesawat yang sedang take off menuju Jakarta, Indonesia.

***




__________

Antara Nagreg dan Bandung Bersama Darsih






Setelah menghadiri pesta pernikahan salah seorang kerabat, aku dan keluargaku bersiap kembali ke Jakarta. Tapi kali ini aku harus kembali seorang diri dengan mengendarai mobil. Kebetulan kedua orang tuaku memutuskan kembali ke Jakarta dengan pesawat terbang. Hal ini karena kondisi ibuku yang kurang sehat akibat kelelahan.

Setelah mengantarkan ayah, ibu dan Karina -adikku- ke bandara Juanda Surabaya, akupun langsung berkendara menuju Jakarta. Rencana aku akan melewati Yogyakarta kemudian mengambil jalur Selatan menuju Bandung.

Perjalanan dari Surabaya ke Yogya hari itu kulalui dengan lancar. Setiba di Yogya aku memutuskan beristirahat di coffee shop sekitar 1 jam dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Bandung. 

Sesampainya di Tasikmalaya, adzan maghrib berkumandang, dan matahari mulai tenggelam. Dari Tasikmalaya mobil yang kukendarai bergerak menuju Bandung melalui jalur Nagreg. Seperti yang sudah kuduga, jalur ini macet luar biasa. Mungkin karena sedang long weekend. Tapi mau gimana lagi. Aku memutuskan lewat Bandung karena ingin bersilaturahmi dengan ibu kost semasa kuliah dulu.

Kemacetan jalur Nagreg semakin tidak bergerak. Saat ini waktu menunjukkan pukul 20.10 WIB. Karena jenuh aku malah sempat keluar mobil untuk meregangkan otot yang mulai kaku. Mataku pun mulai mengantuk. Aku mulai kelelahan.

Samar samar aku melihat seperti ada cahaya dari lampu minyak di sebuah gubug, seperti warung kopi. Entah mengapa tiba tiba aku memutuskan beristirahat sejenak di warung kopi itu. Lumayan lah, daripada ngantuk dan jenuh karena macet. Aku lalu memarkir mobil di tepi jalan, dan melangkahkan kakiku menuju warung kopi yang jaraknya sekitar 10 meter dari jalan raya.

Warung kopi itu nampak sepi, karena memang tidak terlihat ada seorangpun di situ. Tapi di dalam warung seperti ada seorang yang sedang memasak.

” Punten ...” Kataku sambil mengetuk meja kayu di hadapanku. Tak berapa lama kemudian muncul seorang wanita muda dari dalam warung kopi tersebut.

” Kopinya satu ya teh,” kataku padanya. Dia mengangguk, dan tak lama kemudian menyodorkan segelas kopi kepadaku. Lalu kuterima segelas kopi itu sambil memerhatikan wanita yang berdiri di depanku.

Cantik, muda dan berkulit putih bersih dengan rambut terurai sebahu. Wanita itu terlihat polos dan sederhana. Wajahnya bening tanpa pulasan make up. Dan yang membuatnya semakin menarik, dia mengenakan kebaya merah. Kontras sekali dengan warna kulitnya. Sebagai laki laki normal aku pun mulai iseng. Yah, lumayanlah buat teman ngobrol daripada ngantuk.

” Teh, kok sendirian aja jualannya? Ga takut apa, di tengah hutan begini?” kataku sambil melirik ke arahnya. Wanita itu hanya tersipu. Lalu sambil menyodorkan sepiring pisang goreng diapun mulai bicara.

” Biasanya ada suami saya, Aa. Tapi sudah seminggu suami teteh pergi ke Bandung sampai sekarang belum kembali,” Kata wanita itu dengan wajah mulai meredup. ”Teteh mah khawatir, terjadi apa-apa dengan suami teteh.”

” Kalo boleh tau, nama teteh siapa?”

” Darsih.”

” Teh Darsih mau ikut saya ke Bandung, cari suaminya?” Kataku iseng. Di luar dugaanku wanita itu mengangguk cepat. Waduh, bagaimana ini aku kan cuma iseng ngajak dia. Aku pikir dia tidak akan mau, tapi kok malah pengen ikut. Duh ...

” Nanti sesampai di Bandung, abi teh ada saudara. Aa mah tidak usah khawatir. Darsih mah tidak akan merepotkan,” Kata wanita itu meyakinkanku. 

Akhirnya mobil yang kukendarai mulai bergerak menuju Bandung. Ditemani Darsih. Sesekali kulirik dari sudut mataku, wajah wanita itu. Dia tau lalu tersipu sambil membetulkan kerudung merah yang menutupi rambutnya.

Aku sempatkan lagi melirik ke arah Darsih. Wanita itu tertidur rupanya. Astaga ... kain kebaya wanita itu tersingkap. Jantungku berdebar kencang melihat pahanya yang mulus.

Aku mulai berpikir jahat. Entah kenapa tiba tiba aku mulai merencanakan sesuatu terhadap Darsih. Bisikan bisikan jahat itu begitu kuat, hingga membuat jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba Darsih terbangun.

” Sudah sampai Bandung, Aa?”

” Belum, kita ke Hotel dulu.”

” Hotel teh, naon Aa?”

” Kalo kita sudah sampai di Hotel, teteh istirahat dulu di sana ya? Nanti saya sewakan kamarnya. Biar saya tidur di mobil saja,” Kataku pada Darsih.

” Muhun Aa, punteun sudah merepotkan."

Akhirnya mobil yang kukendarai mulai bergerak mencari penginapan terdekat, ditemani Darsih. Sekali lagi kulirik wajah Darsih, dia pun kembali tersipu sambil mempermainkan ujung kerudung merahnya.

Aku membatalkan niat jahatku terhadap Darsih, wanita lugu itu. Dan setelah mendapat penginapan, aku mengantarkan Darsih ke dalam kamarnya. Kemudian setelah itu aku menuju parkiran untuk beristirahat di dalam mobil.

(((Duk .. duk .. duk ...)))

Aku terbangun. Seseorang nampaknya mengetuk jendela mobilku, sambil memberi isyarat agar aku menjalankan mobil. Yang membuat aku heran, aku masih berada di tepian hutan Nagreg ke arah Bandung. Bukan di parkiran hotel tempat Darsih menginap. Lalu di mana Darsih? Wanita itu tidak ada di sebelahku. Yang tertinggal hanya selendang merahnya dan aroma bunga kamboja.

***

#braggingrights #coretanembun #fiksi #ceritamisteri #horroraddict

Kamis, 07 November 2013

Salah Sangka






**


Seorang laki-laki terlihat sedang berdiri di samping pohon mangga pada halaman rumah mungil yang asri. Ia rupanya sedang mengamati keadaan sekeliling rumah tersebut. Raut wajahnya terlihat sangat bengis dan sadis. 

Sepanjang lengan kanan dan kirinya penuh dengan tattoo. Kulitnya hitam mengkilat seperti kulit singa laut, potongan rambutnya cepak. Ia berbadan kekar dengan otot-otot yang menonjol tanpa bisa disembunyikan dari baju berwarna orange bertuliskan ‘TAHANAN’.

Laki-laki itu rupanya baru saja melarikan diri dari penjara, di mana ia telah mendekam selama 15 tahun dari vonis hukuman seumur hidup. Ia adalah seorang pemerkosa yang kemudian membunuh para korbannya dengan sadis lalu merampok harta benda korban.

Setelah dirasa cukup aman mengamati keadaan sekitar, ia lalu menerobos mendekati rumah asri tersebut. Ia berniat kembali merampok uang atau apapun yang bisa diambil dari dalam rumah. Dengan mengendap-endap didekatinya jendela dapur untuk dicongkel pengkaitnya. Tapi ternyata pintu dapur terlihat sedikit terbuka, tanpa kesulitan buronan itu langsung menyelinap masuk ke dalam rumah.

Di dalam dapur, sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Lalu buronan itu kemudian bergerak menuju ruang keluarga yang bersebelahan dengan dapur. Keadaan masih sepi. Setelah dirasa aman ia lalu mulai mencari barang-barang berharga yang mungkin bisa diambilnya.

“Ooohhh...” Kemudian terdengar suara lengkingan seorang wanita menjerit. Wanita itu menangkap basah buronan yang sedang berkeliaran di dalam rumahnya. Secepat kilat buronan itu membungkam mulut si wanita .

” Honeyyy...kenapa sayang!” Terdengar suara laki-laki berteriak dari salah satu kamar tidur.

” Siapa dia?” Si buronan bertanya pada wanita yang sedang ketakutan itu.


” Suami saya.”

Dengan kasar buronan itu mendorong si wanita berjalan menuju kamar. Di sana
ia menemukan suami wanita itu. Laki-laki berwajah tampan dan berkulit putih sedang berbaring di ranjang. Laki-laki itu kaget dan langsung berdiri. Buronan itu langsung memberi isyarat dengan sebilah pisau dapur agar laki-laki itu diam.

Buronan itu kemudian mengambil sebuah kursi lalu memerintahkan si wanita duduk dan mengikatnya. Sementara sang suami hanya pasrah melihat apa yang terjadi. Laki-laki itu tidak dapat berbuat banyak karena ia tahu sedang berhadapan dengan narapidana yang buron. Ia takut akan keselamatan istrinya.

Buronan itu lalu terlihat dengan penuh nafsu mulai menciumi leher si wanita. Tak lama kemudian ia beranjak menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur. Sementara si buronan ada di kamar mandi, sang suami cepat-cepat mendekati istrinya yang masih terikat di kursi.

” Dengar sayang, orang ini seorang buronan yang melarikan diri, kamu lihat pakaiannya kan? Dia mungkin menghabiskan banyak waktu di penjara dan tidak pernah melihat seorang wanita selama bertahun-tahun. Aku tadi melihat bagaimana ia mencium lehermu! Seperti sangat bernafsu,” Laki-laki itu hanya dapat menghela nafas dan memandang wajah istrinya dengan perasaan iba.

” Jika dia ingin berhubungan seks, jangan menolak, lakukan saja apapun yang ia minta padamu. Walaupun mungkin kamu merasa jijik. Tapi orang ini mungkin sangat berbahaya. Jika dia marah, dia akan membunuh kita. Jadilah kuat, Sayang... I love you!”

” Dia tidak mencium leherku, sayang. Dia hanya berbisik di telingaku. Dia bilang dia gay, dia pikir kamu unyu. Dan bertanya padaku apakah punya vaseline atau lotion apapun itu. Aku katakan kepadanya semua ada di kamar mandi. Kuatkan dirimu sayang...I love you too!”




***

Alkisah Ratu Dodot



Alkisah ada sebuah kerajaan bernama Babat Bubrah yang dipimpin oleh Prabu Peyeum dan permaisurinya Ratu Dodot yang terkenal legit. Disamping kelegitannya sang Ratu juga renyah, tapi bukannya tidak mungkin sesekali menjadi sengit dan sangit. Cerita ini berawal ketika Prabu Peyeum harus meninggalkan kerajaannya untuk menyelesaikan masalah kenegaraan melawan kerajaan tetangga yang terkenal sangat ngeyelan. Saking ngeyelnyasang Prabu merasa perlu untuk menyelesaikan sengketa antara kedua kerajaan yang bertikai secara face to face dengan kerajaan tetangga itu. Baiklah mari kita simak pengalaman Prabu Peyeum menuju ke kerajaan tetangga…


Kerajaan Tetangga a.k.a Alengka Sundil

Ternyata kerajaan Alengka Sundil dipimpin oleh seorang Ratu bernama Nimas Sundil. Prabu Peyeum rupanya tidak mengetahui hal ini. Dia pun terhenyak hingga langit ke tujuh. Dalam hatinya sang Prabu hanya bisa membatin –pantes ngeyelan lha wong wadon sing mimpin –

Akhirnya terjadilah pertemuan antara Prabu Peyeum dan Nimas Sundil. Dengan berdiri berkacak pinggang sang Prabu menunggu kehadiran Nimas Sundil untuk duduk di kursi singgasananya. Sesaat sebelum kehadirannya tercium aroma kembang kantil yang menyayat hidung. Aroma mistis pun langsung menebar ke seluruh ruangan. Sesaat sang Prabu mulai terlihat sesak seperti nyamuk yang mabuk baygon bakar.

Kemudian muncullah Nimas Sundil…dengan diiringi tarian yang dibawakan para dayang-dayang  untuk menyambut kehadirannya. Bisa dibayangkan betapa rempong dan ribetnya. Namun apa yang terjadi? Prabu Peyeum terkesima sodara. Ratu Nimas Sundil menyeruak diantara para dayang-dayang yang sedang menari dan tanpa basa basi langsung menghadapi sang Prabu dan bertatap muka secara face to face.

Mereka lalu berhadap-hadapan. Prabu Peyeum masih tidak bergeming melihat kecantikan Nimas Sundil yang tidak kalah dengan permaisurinya sendiri yaitu Ratu Dodot yang selegit dodol. Dengan mengangkat sedikit dagunya Nimas justru kelihatan sangat seksi dengan leher jenjang yang menantang setiap drakula yang haus darah. Tidak terkecuali Prabu Peyeum apalagi kabarnya ia masih keturunan Don Juan.

"Blankkkkk"

Tiba-tiba Prabu Peyeum tidak ingat lagi apa tujuannya pergi ke kerajaan Alengka Sundil. Otaknya justru bekerja bagaimana caranya dia bisa mendapatkan Nimas Sundil. Melihat Prabu Peyeum terkesima, tidak disia-siakan oleh Nimas Sundil. Wanita itupun langsung melancarkan ‘ajian maut pemikat ragawi’. Emang dasarnya Nimas Sundil juga masih keturunan Lolita, kedatangan Prabu Peyeum justru merupakan tantangan baginya. Bisa dijadikan studi banding, pikirnya.


Ajian Maut Pemikat Ragawi Pun Dilancarkan

Menghadapi Raja seperti Prabu Peyeum bukan masalah bagi wanita sekelas Nimas Sundil. Setelah mempersilahkan sang Prabu duduk di kursi kehormatan, Nimas pun menduduki singasananya. Prabu Peyeum tetap tidak bergeming sedikitpun melihat Nimas Sundil. Seakan-akan tidak mau melewatkan sedikitpun gerak gerik dari wanita itu.

Nimas tersenyum, di atas singasana yang dipenuhi kembang kantil dan wanita itu lalu menyilangkan kaki kirinya di atas kaki kanannya. Kain yang dikenakannya pun tersingkap, terlihat sepasang paha mulus yang seakan-akan melambaikan tangan pada kedua mata Prabu Peyeum. Sang Prabu semakin seperti ‘serigala yang kelaparan’, dengan liur yang menetes menyaksikan pemandangan yang tidak ia sangka-sangka. Pembicaraan pun dimulai. Sang Prabu yang pada awalnya ingin menyelesaikan sengketa tentang wilayah kerajaannya yang dicaplok oleh kerajaan Alengka Sundil perlahan lupa apa yang harus dia katakan. Prabu Peyeum malah mengatakan niatnya ingin memperistri Nimas Sundil. Nah loh…!!

Namun tidak semudah itu memperistri Nimas Sundil. Keinginan Prabu Peyeum lalu ditolaknya mentah-mentah. Alasannya karena Nimas ingin memimpin sendiri kerajaanya dan tidak mau diboyong ke kerajaan Babat Bubrah. Tapi Nimas menawarkan kepada Prabu Peyeum untuk menemaninya memimpin kerajaan Alengka Sundil dan meninggalkan Kerajaan Babat Bubrah. Hal ini tentu saja membuat Prabu Peyeum bingung. Pertama misinya gagal, kedua dirinya terpikat oleh pesona Nimas Sundil dan ketiga dia harus meninggalkan permaisuri legitnya Ratu Dodot. Tapi nafsu rupanya sudah mengerogoti benak sang Prabu. Hatinya pun rupanya sudah terpenjara dalam diri Nimas Sundil. 

Sebagai seorang raja dia harus rela melepaskan gelarnya bila menjadi suami Nimas Sundil. Sesaat kemudian sang Prabu kembali dihadapkan pada pemandangan sepasang kaki jenjang yang bersinar. Tanpa ditanya untuk yang kedua kalinya Prabu Peyeum langsung mengangguk seperti terhipnotis. Hilang sudah bayang-bayang Ratu Dodot yang selegit dodol. ‘Ajian maut pemikat ragawi’ berhasil dilancarkan Nimas Sundil.


Di kerajaan Babat Bubrah

Hampir setiap malam Ratu Dodot menunggu kedatangan Prabu Peyeum. Sudah 7 purnama Prabu Peyeum tidak kunjung datang. Ini menimbulkan kecemasan pada diri Ratu Dodot. Dirinya bertanya-tanya apakah yang terjadi dengan sang Prabu. Apakah Prabu Peyeum tewas dalam peperangan melawan kerajaan Alengka Sundil? Ratu Dodot kemudian berusaha mencari tahu.Ratu Dodot kemudian mengadakan rapat dengan para pejabat istana. Karena keinginan yang kuat, Ratu Dodot bertekad mencari sendiri keberadaan Prabu Peyeum hidup atau mati. Dirinya pun nekad pergi ke kerajaan Alengka Sundil untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan Prabu Peyeum. Dengan diantar penasehat kerajaan, Ratu Dodot mengendarai kuda terbang. Ia kemudian meninggalkan Babat Bubrah menuju Alengka Sundil.


Ratu Dodot Menyamar Sebagai Dayang di Alengka Sundil

Menjadi dayang di kerajaan Alengka Sundil tidaklah semudah yang dibayangkan. Ratu Dodot harus menjalani fit and proper test. Untungnya Ratu Dodot juga punya pengetahuan tentang perawatan kecantikan dari warisan leluhur, sehingga tidak susah buatnya sedikit membocorkan rahasia perawatan tubuhnya. Mulai dari manicure pedicure hingga menciptakan jamu pelangsing dan aneka lulur mandi. Melihat hal ini tentu saja Nimas Sundil sangat senang, lalu Ratu Dodot pun tanpa kesulitan mulai menyelidiki apa yang telah menjadi misinya, yaitu mencari Prabu Peyeum.

Alangkah terkejutnya Ratu Dodot, dirinya mendapati Prabu Peyeum ternyata sedang tidur di pembaringan milik Nimas Sundil. Dan yang lebih mengejutkan lagi , Ratu Dodot mendengar dari bisik-bisik para rekan sejawatnya yaitu para dayang-dayang bahwa Prabu Peyeum adalah suami baru Nimas Sundil. Darah Ratu Dodot langsung mendidih, bukan saja wilayah kerajaan Babat Bubrah yang dicaplok tapi Prabu Peyeum pun kena caplok. Tapi Ratu Dodot tidak ingin mati konyol di kerajaan Alengka Sundil. Ratu Dodot mulai memasang strategi merebut kembali Prabu Peyeum dari pelukan Nimas Sundil.


Stategi Ratu Dodot Menyadarkan Prabu Peyeum dari Pengaruh Ajian Nimas Sundil

Pada suatu hari Ratu Dodot mendapat giliran bertugas menyiapkan air mandi untuk Nimas Sundil yang terdiri dari kembang 7 rupa. Hal ini tidak disia-siakan oleh Ratu Dodot, karena kemungkinan besar ia akan bisa bertemu dengan Prabu Peyeum. Ternyata benar, pada saat Ratu Dodot akan menyiapkan keperluan mandi Nimas Sundil dirinya tanpa sengaja bertemu dengan Prabu Peyeum. Tapi yang lebih mengherankan lagi Prabu Peyeum seperti tidak mengenali Ratu Dodot. Wanita itu tidak kehilangan akal, ia lalu menebarkan wewangian khas dirinya ke seluruh ruangan. Sesaat Prabu Peyeum tersentak, sambil menghirup nafas dalam-dalam dia seakan mengingat aroma yang menyesaki penciumannya.

“Aku mengenali wewangian ini, aroma kembang 7 rupa bercampur sedikit rasa manis dodol…Ratu Dodot, kaukah itu?”

“Kakang Prabu ini aku, permaisurimu…” Prabu Peyeum langsung berlari menghampiri Ratu Dodot –dengan gerakan slow motion – lalu memeluknya. Rupanya ‘ajian maut pemikat ragawi’ luntur oleh cinta murni yang kembali dihadirkan dari aroma tubuh asli Ratu Dodot yang bercampur kembang 7 rupa dengan sedikit aroma manis dodol.

"Brakkkkkkk"

Nimas Sundil dengan mata nyalang melihat kejadian tersebut. Lalu dia pun dengan kekuasaannya memerintahkan para prajurit kerajaan Alengka Sundil untuk menjebloskan Ratu Dodot ke dalam penjara. Kemudian cepat-cepat mengganti aroma kembang 7 rupa dengan aroma mistis kembang kantil.

Ratu Dodot akhirnya mendekam dalam penjara di Alengka Sundil setelah identitasnya terbongkar. Permaisuri Prabu Peyeum itu tidak bisa berbuat banyak. Nimas Sundil lalu memerintahkan para pejabat istana Alengka Sundil dan para prajuritnya untuk membumi hanguskan kerajaan Babat Bubrah secepatnya.

*Ending dari cerita ini saya serahkan kepada pembaca, heuheu…*


____________________

also published : KOMPASIANA