Kamis, 16 Februari 2012

Langit Biru Lazuardi



Biru. Langit biru yang dia lihat tiap sore di kotanya perlahan lenyap berganti kelam kelabu. Rindu. Begitu rindu ia pada langit yang mencitrakan wajah ketenangan. Wajah biru yang hendak memberinya pelukan sehangat mantel bulu musang yang kekasihnya pakai. Blue moment, langit biru batu safir itu yang ia tunggu. Betapa sederhana cinta yang terkuas di hatinya, semacam kesederhanaan yang tak ia buat-buat, karena memang cuma itu yang ia punya. Cinta sederhana.

Ia hanya ingin memberi kekasihnya berlian biru dari angkasa, rona alam yang terbentuk alamiah, se-alamiah cintanya, itu saja. Dia perlu tunjuk langit pada mata coklat cintanya, keinginan yang hendak ia hadiahkan. Tanda cinta tanpa membeli adalah ketulusan cinta yang sejati.

Semacam cahaya Tuhan, katanya. Cahaya langit sore yang menyibak gerumbul-gerumbul awan yang menjadikannya biru, seakan menggambar segurat kesenduan pada langit kota itu. Kesenduan alamiah. Seperti kenangan yang perlahan ingin ia pilin kembali. Kenangan tentang kekasihnya yang telah lama pergi; Embun.

“Tahukah dirimu, nun jauh pada pandangan yang tertangkap mata ada seberkas cahaya yang tak tergapai,” katanya pada gerimis di suatu sore sebelum bayangan Embun menguap.

Dia tak pernah tahu bahwa Embun pergi karena langit kotanya itu telah berganti kelabu. Tugu-tugu pahlawan palsu. Air-air yang meluap-luap menelan segala yang ada. Tanah-tanah lembut yang telah berganti lantai beton tanpa mengindahkan bumi. Gedung-gedung pencakar langit yang menutupi kebiruan cahaya angkasa. Manusia di dalamnya bersibuk ria menimbun kekayaan untuk dirinya sendiri, memalsukan diri dengan kesemuan dan materialisme kemunafikan, kearifan sudah tak ada lagi di hati mereka. Pada kota yang kini telah lupa tentang keromantisan.

Tapi dia tak menyerah, cuma dia saja yang setia pada kealamiahan hidup. Sealamiah cintanya kepada Embun, dia percaya Embun akan kembali kepadanya. Kepada langit biru kotanya yang ingin ia persembahkan. Ia percaya, cuaca akan kembalikan langit birunya, Tuhan akan berikan itu. Bahwa hidup tidak melulu dirundung pilu, akan ada hari di mana keceriaan memeluk hangat sehangat cinta.

Bersama hujan yang dicurahkan dari langit kelabu kotanya, dia tetap menunggu cuaca yang entah kapan akan kembali damai dan tenang. Banjir air rob, angin ribut, tanah longsor, sesak udara yang terhirup seakan mencerminkan hati manusia yang hidup di dalamnya. Kotanya telah meninggalkan kultur budaya yang linuwih, keserakahan yang kini telah menjelma menjadi cuaca yang tak lagi bisa diramalkan.

Suatu saat di mana ceruk waktu mengulungkan ombak mengusik letih, dan kesendirian membawa airmata, Embun kembali menebarkan aroma pada fajar yang akan berubah menjadi kerinduan yang bermuarakan bahagia. Hari harinya hanya diisi dengan sebuah penantian panjang merindui Embun kekasihnya yang entah kapan akan datang.

Dinding dinding beton dengan sombong berdiri kokoh dan berkacak pinggang adalah penghalang. Gedung gedung tua yang kelabu dan bias mentari yang muram bertopang dagu adalah sebuah potret kehidupan yang mungkin membuat kekasihnya menghilang. Banjir masih setia mondar mandir memainkan pasang lalu surut, dan langit kelabu masih duduk sambil bermalasan dan enggan pergi meninggalkan kota ini.

“Siapa yang sedang mempermainkan remote control cuaca?” tanyanya, dan selalu ia bertanya tentang kegundahan hatinya.

“Duhh, Embun...bila kau pergi dan lenyap, siapa yang akan membangunkan aku tiap pagi? Selalu kurindukan kau datang kembali,” katanya pada siang bergerimis.

Bukan, bukan, Embun tak hanya kekasih hatinya yang pergi dan belum kembali. Tetapi Embun juga cinta bagi anak-anaknya yang merindukan dada ibunya.

“Aku juga ayah untuk anak-anakmu. Dan anak-anak kita juga perlu dadamu yang menawarkan cinta. Aku juga mengharapkan itu,” dia kembali berbisik pada gerimis siang di kotanya itu.

Ia menginginkan Embun kembali ke kotanya, dan ia berjanji akan menghadiahi Embun warna biru langit yang tak biasa. Warna biru mata anak-anak mereka yang menanti kehadiran ibunya. Hal itu ia lakukan karena tak mungkin mengubah mendung menjadi langit biru Lazuardi, dan ia bukanlah Tuhan yang bisa mewujudkan sesuatu yang tak mungkin. Ia sadar akan hal itu. Namun Embun tetaplah Embun, mungkin dia suatu saat akan percaya bahwa ayah dari anak-anaknya sanggup menghadiahkan langit biru Lazuardi.

Pagi di kotanya kembali menebarkan aroma, tapi kali ini berbeda. Ia bisa merasakannya. Tidak seperti pada pagi sebelumnya, pagi ini semerbak bunga menari-nari dari serumpun bunga melati. Ia pun beranjak dari peraduan sepinya menuju jendela kamar, dan disibaknya kelambu yang menghalanginya menyapu pandangan. Dan dilihatnya langit biru hadir pagi ini.

Seketika dia pun meloncat, bergegas menuju pintu depan rumahnya. Apa yang dinantikanya telah kembali. Embun telah kembali. Berdiri mematung di depan gapura rumahnya, rumah anak anaknya. Ia pun secepat kilat menghambur menyambut kekasihnya yang telah hadir di depan mata.

“Aku ingin menagih janji, mana langit biru yang kau janjikan,” bisik Embun pelan.

“Lazuardi itu ada di dalam,” katanya kemudian dengan suara bergetar.

Tak lama kemudian langit biru pun berhamburan memeluk Embun. Langit biru itu ada pada pancaran cahaya mata anak anak mereka. Yang bening dan menawarkan kedamaian siapapun yang melihatnya. Embun tidak kuasa meneteskan air mata. Lalu dipeluknya suaminya kemudian anak anaknya.

“Aku tetap akan bersama kalian apapun yang terjadi, tidak perlu mencari Lazuardi sampai ke Negeri Seribu Satu Malam,” Embun berkata pelan pada dirinya sendiri.


- Sekian -


theme song Vivaldi - Four Season (winter)
kolaborasi cerpen : Coretan Embun dan Peran Sabeth Hendianto
also published :Kompasiana

Tidak ada komentar: