Senin, 02 Desember 2013

Primadona



Aku mengacak-acak rambutku yang kaku seperti sapu ijuk. Sigh, dengan kondisi rambut seperti ini mukaku makin terlihat kusut. Banyak sekali yang harus di make over, dari mulai smoothing, creambath dan hair mask. Belum lagi urusan wajah, perlu cream ini dan itu. Untuk urusan badan, harus sering luluran supaya para daki minggat dan kulit menjadi mengkilat. Ah…perempuan, banyak sekali biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan wajah dan tubuh. Kataku pada cermin.

Sebenarnya aku adalah perempuan yang cuek. Apalagi untuk urusan penampilan. Habis mandi Cuma perlu bedak dan sedikit lipgloss, tidak perlu waktu lama hanya butuh waktu satu jam dijamin langsung luntur dan...taraa, kembali ke wajah asal. Kegelisahanku ini semua gara-gara Tasya, seorang karyawan baru. Ya ampun, dia cantik sekali. Sebagai perempuan aku pun mengakui bahwa memang Tasya cantik. Dan dia telah merebut perhatian Bian dariku. Nasib...nasib, jadi perempuan yang biasa saja dengan kadar kecantikan yang mepet. Tanpa semangat, aku lalu mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor.

*
Tasya cukup menyita perhatian orang se-kantor. Tubuhnya tinggi semampai, berkulit putih bersinar. Mungkin, seandainya ada nyamuk yang akan mengigit kulitnya, pasti akan tergelincir di kulit mulusnya. Matanya, duh indah. Seperti bintang kejora yang dibingkai dengan sepasang bulu mata lentik dan sesekali mengerjab seperti Clara Bella. Clara Bella adalah tokoh kartun dalam serial Mickey Mouse yang mempunyai bulu mata panjang. Aku harus waspada pada Tasya, jangan sampai Bian berpaling dariku. Kehadiran Tasya benar-benar membuatku was-was lahir bathin. Aku terancam.

Wanita oh wanita, kenapa selalu saja bersaing untuk memperebutkan laki-laki. Hei, kata-kata itu kan yang pernah aku katakan pada Riana pada saat ia dan Lily memperebutkan Hera. Ampun...kenapa sekarang malah aku ketakutan kehilangan Bian. Paranoid terhadap Tasya, yang sepertinya mempunyai potensi merebut Bian dari tanganku. Ah...semoga tidak. Tapi bagaimana bila terjadi? Bian benar-benar terpikat dan jatuh hati pada Tasya. Setengah jam lagi , waktu makan siang tiba. Kemudian terdengar suara notifikasi dari ponselku.

((clik..clik)) langsung aku raih dan baca sebuah pesan. Ternyata dari Bian, begini isi pesannya :
-Kita maksi bareng ya, aku tunggu di kantin basement- Yayy…aku bersorak dalam hati. Tentu saja aku akan memenuhi ajakan Bian. Tunggu apa lagi, langsung aku balas pesan Bian itu dengan singkat :
-Oke-

Jam makan siang pun tiba, aku dengan semangat 45 menuju lift yang akan membawaku ke basement. Sambil menunggu di depan pintu lift, aku merasakan seseorang berdiri di sebelahku. Saat aku menoleh, hmm ... Tasya. Dia tersenyum, lalu kubalas senyumnya itu. Entahlah apakah senyumku tulus atau tidak, yang jelas aku berusaha ramah.

"Halo, kenalin aku Tasya."

"Rena," kataku singkat.

"Oh ya Ren, di basement ada kantin ya? Aku karyawan baru di sini. Maukan menemani aku makan siang di sana?"

"Hmm ..boleh," kataku sedikit kaget. Aduh, kenapa aku menerima ajakannya, bukankah aku janjian sama Bian di kantin basement? Bodohnya aku, mau ngak mau, suka ngak suka aku akan memperkenalkan Tasya pada Bian. Aku kembali terserang paranoid, bahwa pasti Bian akan terpesona dengan kecantikan Tasya. Aku dan Bian memang belum jadian alias masih pdkt, jelas Tasya merupakan ancaman buatku. Tapi akhirnya aku pasrah walaupun hatiku berteriak-teriak minta tolong, save my Bian..save my Bian!!

Aku dan Tasya sudah sampai di basement, dengan langkah berat aku masuk dalam ruangan kantin. Aku pun melihat Bian yang sedang berbicara dengan teman satu kantor lainnya.

"Hai, sudah lama nunggu, Bian?"

"Ngak sih barusan kok."

"Oh ya , kenalkan ini Tasya. Karyawan baru di kantor kita."

Tasya mengulurkan tangannya. Bian pun menyambut uluran tangan Tasya dan terlihat menggenggam jari-jari lentik Tasya dengan penuh semangat. Dari raut wajahnya, Bian terlihat terpesona dengan Tasya. Dan aku tidak sedang bermimpi, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Bian mengagumi Tasya. Apa yang kutakutkan pun terjadi. Sepanjang jam makan siang Bian dan Tasya asik mengobrol sendiri. Aku jadi salah tingkah antara menjadi kambinng congek dan menyembunyikan perasaan cemburu.

Entah apa yang harus aku lakukan? membenci Tasya ataukah Bian. Karena Bian bebas dan berhak memilih siapa yang dia suka. Dan Tasya memang cantik dan memesona. Lalu aku juga tidak ada hubungan apa-apa dengan Bian. Hanya sebatas suka dan Bian adalah teman diskusi yang asik. Aku dan Bian sering kali membahas segala hal. Dan hal ini tentu saja menyenangkan, jarang ada laki-laki yang bisa nyambung kalo ngobrol denganku. Dan sekarang Tasya meng-Knock Out-ku dengan telak lewat kecantikannya.

*
Aku kembali menatap cermin, seketika aku membenci diriku sendiri. Dengan rambut seperti sapu ijuk, kulit yang sawo matang dan wajah standar tanpa makeup dan kurang perawatan. Benar-benar aku adalah wanita biasa yang tidak pantas diperhitungkan. Apalagi bila harus bersaing dengan Tasya yang seperti seorang model. Jauh...kataku dalam hati sambil melempar rol rambut ke cermin. Sia-sia saja aku menggulung rambutku yang seperti sapu ijuk dari dua jam yang lalu, hasilnya tetap tidak akan bisa tergerai indah seperti rambut Tasya. Aku perlu smoothing untuk membuat rambutku tergerai. Aku perlu suntik vitamin c atau botox agar kulitku menjadi putih. Tentu saja supaya aku bisa bersaing dengan Tasya untuk merebut hati Bian.

Semenjak Bian aku perkenalkan dengan Tasya, laki-laki itu sama sekali tidak pernah menghubungiku lagi. Bian sama sekali tidak pernah menelepon dan tidak pernah mengirim pesan. Dan yang membuatku semakin merana pada saat pulang kantor, aku melihat Bian membukakan pintu mobilnya untuk Tasya dan kemudian mereka pergi entah ke mana. Hatiku menjerit-jerit, aku galau dan patah hati. Ini semua gara-gara aku yang menyerahkan Bian langsung pada Tasya, tanpa perantara. Sold.

*
Malam minggu adalah saat-saat yang paling menyedihkan bagi seorang jomblo. Dengan ditemani sepiring keripik kentang dan kopi, yang aku kerjakan dari siang hanya update status di Facebook, sesekali ke twitter dan ngoceh sepuasnya. Menjelang maghrib aku mulai bosan, sehabis mandi aku memutuskan menonton filem yang dibintangi Julia Robert berjudul My Best Friend Wedding.

((clik..clik)) terdengar notifikasi dari ponselku. Cepat-cepat aku baca isi pesannya. Dari Bian, seketika jantungku berhenti berdetak untuk sementara.
-Ren, aku ke rumahmu ya?- langsung kubalas pesan itu.

-Silahkan, kamu di mana?- Tidak lama kemudian, Bian langsung membalas pesanku.

-Di depan rumah kamu, bukain dong pagernya. Digembok nih-

Oh...aku mendadak panik. Walaupun sudah mandi tapi aku belum dandan dan ternyata Bian mendadak muncul. Kalo aku dandan dulu, kasian Bian pasti kelamaan nunggu di luar pagar. Akhirnya akupun memutuskan untuk tidak usah dandan. Kutemui Bian dengan penampilan seadanya.

"Tumben kamu ke rumah?"

"Kenapa, ngak boleh? Ngak sih aku kangen aja pengen ngobrol-ngobrol sama kamu."

"OOhhh..."

"Yups, kamu terganggu ya? Atau ada acara lain?"

"Ngak sih, bukannya kamu lagi ngedeketin Tasya? Sekarang kan malam Minggu, kamu...’ tiba-tiba Bian memotong perkataanku.

"Aku dan Tasya ngak ada apa-apa. Kamu tau ngak, dia itu perempuan teraneh yang pernah aku kenal. Kemarin aku sempet jalan sama dia dan sepanjang perjalanan yang dibahas pernak pernik wanita, warna cutex yang sedang in, tas, sepatu dan salon terbagus seantero Jakarta ini. Aku bosan mendengarnya," Bian tersenyum.

Aku tidak bisa menahan diri, aku tertawa lepas dan senang bukan main. Ternyata Bian laki-laki yang istimewa. Dia tidak melihat kecantikan wanita hanya melalui fisiknya saja. Aku semakin kagum dan yang penting aku yang akhirnya memenangkan hati Bian.

"Oke, sekarang kita jalan-jalan yuk," ajak Bian penuh semangat. Aku mengangguk cepat.

"Tapi aku minta waktu sebentar ya, mau dandan dulu."

"Ah...ngak usahlah. Kamu tau, kamu hanya perlu tersenyum manis karena senyumanmu adalah dandanan terbaikmu dan lagi kamu itu menyenangkan, Ren."

Entah mengapa aku berpikir ini sebuah rayuan. Dan tidak kusangka keluar dari mulut Bian. Tapi aku senang, hatiku jungkir balik kegirangan. Dan...aku pun memberikan senyum termanisku pada Bian. Senyum itu menghiasi wajahku yang standar tanpa riasan. Sesaat Bian menggenggam tanganku.

"Ren, mau ngak kita jadian?"

Nah loh...Jodoh ngak kemana ya?


***

Istri Muda Pak Glen



**


Namaku Nurul karyawan sebuah perusahaan Advertising. Pekerjaanku adalah sebagai seorang receptionist. Di kantor ini ada boss muda bernama pak Glen, berumur sekitar 30 tahun. Berpostur tinggi besar, berwajah keras nyaris tidak pernah tersenyum dan sangat tegas. Tidak segan-segan memecat karyawan yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang menjadi visi dan misi perusahaan. 

Karyawan yang tidak disiplin apalagi tidak niat bekerja, tanpa alasan dipersilahkannya angkat kaki dari perusahaan. Beruntung wajahnya lumayan ganteng sehingga kekejamannya di kantor sedikit tersamarkan. Terutama buat karyawan wanita sepertiku. Paling tidak, bila dia marah-marah karena tidak puas akan pekerjaan yang aku lakukan, ada alasan untuk memandangi wajahnya yang ganteng dengan wajah memelas, memohon ampun dan menghiba.

Khabar yang beredar, pak Glen mempunyai istri muda. Gossip sudah menyebar seantero kantor ini. Bahwa pak Glen berpoligami dan mempunyai istri muda. Pagi itu seperti biasa sebelum jam kerja dimulai, aku, Ester dan Joice memulai akitifitas dengan sarapan di kantor, di ruang meeting. Aku melahap semangkuk lontong sayur yang kubeli di perempatan jalan tadi saat menuju kantor. Sambil menikmati makanan kita mulai ber-gossip. Nge-gossipin siapa lagi kalo bukan pak Glen.

” Seperti apa ya kira-kira istri muda pak Glen?” Kata Ester.

” Pasti cantik, dan model cewek cosmopolitan yang tidak lepas dari gadget terbaru dan tas branded dari merek terkenal.”

” Emang kamu sudah pernah liat?” Kataku pada Joice. Temanku itu menggeleng.

” Istri pak Glen yang pertama itu baru berusia 24 tahun. Masih kurang muda apa?” Kata Joice lagi.

” Mungkin, istrinya yang sekarang masih abg kali ? Laki-laki kok ngak pernah puas gitu ya? Istri masih muda tapi masih aja butuh istri yang lebih muda lagi,” Ester nyerocos tidak mau kalah.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki seseorang menuju ruang meeting. Dari balik pintu kaca terlihat pak Glen datang dan membuka handle pintu. Buru-buru kami membereskan peralatan makan dan menyimpannya di bawah meja ruangan meeting. Pak Glen paling tidak suka bila ada karyawan yang makan di ruangan meeting. Ini bisa dikategorikan pelanggaran. Begitu dia menampakkan diri kami serempak menyapanya.

“Selamat pagi pak !”

“Pagi,” sapanya sambil menatap kami satu persatu seakan-akan ingin mengatakan sesuatu. Lalu tatapannya tertuju ke arahku.

“Oh iya, Nurul kamu receptionist kan? ke ruangan saya sekarang,” katanya padaku **duar** jantungku serasa meledak. Wajahku mendadak pucat. Aku disuruh ke ruangan pak Glen? Pasti dia tadi melihat peralatan makan yang bersembunyi di sela-sela kedua kakiku. Dengan lemas aku beranjak menuju ruangan pak Glen.

“Duduk.”

“Makasih pak,” tatapku dengan wajah memelas. Kulirik lemari kaca di samping kursi yang kududuki, untuk memastikan apakah wajahku sudah benar-benar terlihat memelas.

“Nurul, nanti jam makan siang istri saya akan ke sini. Tolong kamu terima dia dengan baik. Dan apabila saya nanti sedang meeting, tolong kamu temani dia di ruangan saya.”

” Oh!... baiklah pak.” 
Aku lega karena ternyata bukan karena aku ketahuan makan di ruang meeting.


Siang itu...

Beberapa menit lagi jam makan siang tiba. Aku tidak sabar menanti istri muda pak Glen, yang katanya akan datang. Seperti apakah dia? Pasti seperti top model, dengan postur tubuh tinggi, langsing, putih dan rambut tergerai yang menebarkan aroma shampoo. 

Saat dia berjalan di depanku nanti, aku terbayang-bayang wangi parfume merek Issey Miyake atau Dolce & Gabana. Kemudian dia akan duduk di ruangan kerja suaminya dengan memangku tas branded merek LV, Gucci atau Hermes Birkin yang harganya puluhan juta itu. Kemudian dia menyilangkan kakinya yang beralaskan high heel merek Salvatore Ferragamo. Fiuh…semakin tidak sabar menanti kehadiran istri muda pak Glen.

Jam makan siang tiba, tepat jam 12 siang. Istri muda pak Glen belum datang juga. Tidak lama kemudian sebuah ojeg berhenti di pintu masuk kantor. Seorang wanita turun dari ojeg tersebut. Berumur sekitar yah...40-an tahun. Dia mengenakan baju atasan katun berwarna putih dan rok bawahan panjang berbahan jeans. Menggunakan sandal merek Bata buatan dalam negeri. 

Wanita itu tidak membawa tas, ia hanya mengempit dompetnya di lengan kiri. Sementara tangan kanannya mambawa rantang plastik berwarna pink ndeso bergambar bunga-bunga mawar. Duh...siapa lagi ini pikirku. Konsentrasiku buyar gara-gara wanita ini. Acara menunggu istri muda pak Glen jadi sedikit terganggu karena kehadirannya.

“Siang mba...saya mau ketemu pak Glen.”

Aku langsung melirik wanita yang berdiri di depanku. Siapa sih dia? Tidak mungkin ini istri muda pak Glen. Aku perhatikan umurnya sekitar 40 tahun. Wajahnya biasa saja. Rambutnya di ekor kuda. Tidak membawa tas branded sama sekali hanya membawa dompet bergambar Hello Kitty. Kakinya beralaskan sandal merek Bata sementara yang kucium bukan wangi parfume Issey Miyake tapi bau minyak kayu putih cap Gajah. Dan dia bawa-bawa rantang lagi.

“Pak Glen? Sebentar ya bu. Dengan ibu siapa?”

“Saya dari rumah bawakan pak Glen ayam bakar kesukaannya buat makan siang.”

“Ooohh...iya. Pasti ibunya pak Glen ya? Tadi pak Glen pesan ke saya kalo istrinya akan datang. Memangnya ke mana istri pak Glen, bu? Kok tidak jadi datang ?" Wanita yang kuajak bicara itu hanya tersenyum saja.

“Mari bu, saya antar ke ruangan pak Glen. Sepertinya sudah selesai meeting-nya.”

Wanita setengah baya itupun mengikutiku dari belakang. Sesekali aku menengok ke belakang dan meliriknya. Dia tampak takjub dengan segala sesuatu yang ada di kantor ini. Tidak lama kemudian kita sudah berdiri tepat di depan pintu ruangan pak Glen. Dengan perlahan kuketuk pintunya.

“Masuk.”

“Siang pak, ada tamu dari rumah.”

“Oh…istriku sayang. Jadi juga kamu datang,” pak Glen terlihat gembira dan buru-buru dipeluknya wanita itu. Kemudian dengan sangat antusias dibukanya rantang plastik yang berwarna pink ndeso bergambar bunga-bunga mawar. Dan benar, isinya adalah ayam bakar yang harumnya memenuhi seluruh ruangan. 


Tak lama kemudian terdengar sebuah lagu merdu dari almarhum Chrisye berjudul “Serasa” memenuhi ruangan.
Istri muda pak Glen ternyata tidak muda. Pak Glen jatuh cinta pada wanita berpenampilan ‘vintage’ generasi 80’s. Dan ternyata pak Glen adalah Oedipus Complex. Ha-ha-ha-ha...


**