Senin, 20 Februari 2012

I Will Always Love You Mommy



Sabtu kemarin sebuah gereja di Newark diselimuti suasana berkabung terutama bagi para penggemar Whitney Houston. Seorang gadis kecil berumur kira kira 10 tahun tampak berdiri dipagar gereja diantara kerumunan para penggemar Whitney. gadis itu bernama Debby. Sampai pada akhirnya peti jenasah yang membawa Whitney Houston dibawa dalam mobil. Dan mobil jenasahpun meninggalkan gereja dan perlahan melaju menuju kesebuah perkuburan. Para penggemar yang sudah lama menunggu dan ingin menyaksikan prosesi terakhir idolanya pun mulai mengikuti mobil jenasah yang berjalan pelan.
“Kami mencintaimu Whitney..”, para penggemar pun berteriak bersahut sahutan. tak terkecuali Debby yang rupanya sudah menunggu di depan gereja dari pagi. Dia terpaksa membolos sekolah demi melihat prosesi pemakaman Whitney Houston.
Lagu lagu Whitney Houston bisa dikatakan mempunyai kenangan tersendiri bagi Debby. Gadis itu teringat saat saat dimana mommy nya selalu menyanyikan ‘I Will Always love You’ untuknya sambil membuat pancake. Sehingga pada saat itu pagi hari terasa sangat indah buat seorang gadis kecil seperti Debby. Sambil menikmati breakfast nya Debby pun tak jarang terpukau dengan suara mommy nya waktu bersenandung, sambil sesekali menatapnya penuh cinta kasih :
If I Should stay
I would only be in your way
So I’ll go But I know
I’ll think of you every step of
the way...
And I…
Will always Love you, oohh
Will always Love you
You..My darling you
Mmm-mm
Bittersweet Memories
That is all I’m taking with me
So good-bye Please don’t cry
We both know I’m not what you
You need
And I…
Will always love you
I…
Will always love you
You, ooh
I hope  life treats you kind
And I hope you have all you’ve dreamed of
And I wish you joy and happiness
But above all this I wish you love
And IWill always love you
I…Will always love you

I will always love you
You….
You
Darling I love you I’ll always
I’ll always Love
You..
Oooh
Ooohhh

Dan airmatapun menetes, Debby mengerjapkan mata indahnya untuk mengusir genangan di kelopak mata. Kali ini Debby merasa seperti dua kali kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Karena setahun yang lalu mommy juga meninggalkan dirinya untuk selama lamanya karena over dosis.
Mobil jenasah pun makin kencang melaju, dan hilang dari pandangan mata. Dari bibir mungilnya terucap :
“I Will Always Love You Mommy”
___ 

theme song :
I Will Always Love You - Smooth Jazz Tribute
also published Kompasiana

Kamis, 16 Februari 2012

Sebuah Kado untuk Lastri



Dalam kamar sebuah rumah petak kumuh yang selalu diributkan oleh suara riuh orang lalu lalang, teriakan anak-anak yang sedang bermain dan para penjual makanan yang penuh nafsu menawarkan dagangannya, Lastri terbangun dari tidur pulasnya. Kedua bola matanya yang indah mengerjap, bibirnya yang merah alami menguap karena masih mengantuk.

Tapi Lastri harus segera bersiap untuk pergi bekerja. Tugas malam seperti biasa. Lastri mengumpulkan semangat yang ada untuk kembali bergumul dengan tubuh-tubuh berbau jigong yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama untuk ditukarkan dengan lembar lembar rupiah demi kebutuhan hidupnya: makan sehari-hari, membayar uang kontrakan dan tentu saja membiayai kehidupan keluarganya di kampung.

Terkadang ingin berhenti saja, mencari pekerjaan yang layak di matanya dan di ‘mata’ masyarakat, terlebih di mata orang tuanya yang jauh di sana—yang tidak tahu menahu apa pekerjaannya saat ini. Ah, tetapi sama saja, kedatangannya di tempat ini toh, karena janji seseorang untuk mempekerjakannya di sebuah tempat yang mapan. Sebuah perusahaan roti, katanya.

Namun pada suatu malam jahanam  telah membuat Lastri menginjakkan kakinya di tempat ini. Hanya karena Lastri cantik. Hanya karena ia aduhai. Hanya karena ia bodoh. Hanya karena ia percaya kepada makelar tubuh yang membawanya sampai di tangan seorang juragan. Hanya karena… ah, mengingat semua itu, hanya akan membuatnya bersedih dan tidak bisa melakukan apa-apa. Sementara orang tua satu-satunya di kampung, dan anaknya yang baru berumur 7 tahun butuh makan dan sekolah. Siapa lagi yang akan membiayai kehidupan anaknya yang masih kecil dan ibunya yang sudah renta jika bukan dirinya sendiri.

“Ah, sudahlah…,” gumam Lastri bangkit dari ranjang.

Lastri baru saja menyampirkan handuk bersih di bahunya, saat pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.

“Selamat sore. Maaf, aku datang lagi, Las,” sapa seseorang.

“Ada apa lagi? Ya, sudah silahkan duduk. Aku mau mandi dulu.”jawab Lastri sambil menuju kamar mandi.

“Eh, aku sebentar saja, kok. Hanya ingin menitipkan ini,” kata laki-laki itu sambil menyerahkan sebuah bingkisan.

Lastri menerimanya dengan ragu-ragu, sambil menatap bingkisan ditangannya tanpa ekspresi. Tapi mau tidak mau ia harus menerimanya. Semakin cepat diterima semakin baik supaya laki-laki itu dapat lebih cepat pergi dari kamar ini. Sebab, melihat lama-lama laki-laki di depannya hanya akan membuat hatinya bertambah perih.

Jujur, jauh di lubuk hatinya ia sangat menghargai laki-laki itu. Laki-laki yang sebaya dengannya. Laki-laki yang selalu kikuk setiap datang di tempat tugasnya: di sebuah kamar remang tempat para ‘penyuka jajan’ singgah dan menikmati pelayanannya. Laki-laki yang bahkan tidak pernah mau menikmati tubuhnya.

“Kalau hanya untuk mengobrol, kenapa kamu datang kemari?” tanya Lastri malam itu kepada calon pelanggannya. “Apa kamu jijik?”

“Aku tidak biasa. Kamu tahu, aku menenggak beberapa botol bir tadi tapi ternyata aku masih grogi juga. Apa kamu keberatan jika menemaniku di sini?” jawab laki-laki setengah teler itu.

“Aku tidak enak sama yang lain. Kalau mau ngobrol sama yang lain saja. Kamu bisa ke tempat karaoke, Bar, atau menikmati makanan di restoran, atau bertamu baik-baik di rumah. Kamu itu aneh, di sini itu tempat orang jualan lendir, Mas?” Lastri duduk di sisi ranjang sambil menyalakan sebatang mild untuknya sendiri. Laki-laki yang diajaknya bicara hanya tersenyum menatapnya.

“Kamu mengingatkanku pada seseorang. Kenapa kamu bisa sampai di tempat seperti ini?”

“Ah, basi. Laki-laki kalau ada maunya begitu. Sudahlah itu bukan urusanmu. Ayolah, sebentar lagi ada pelangganku akan datang . Kamu sudah cukup lama di sini…,” Lastri tersenyum. Agak sinis. Pelan-pelan ia hembuskan asap mild rendah tar itu.

“Tadi aku sudah bilang mami, kamu ku ‘booking’ malam ini, ” jawab laki-laki itu dengan santai membela diri.

Laki-laki itu tidak berbohong sedikitpun. Malam itu Lastri diperbolehkan semalaman keluar bersama laki-laki yang diketahui bernama Dampar itu. Mereka menghabiskan sisa malam itu di sebuah kafe kecil di dekat pantai. Entah mengapa Lastri merasa baru sekali itu ada orang yang menghargai dirinya lebih dari siapapun. Cara Dampar memperlakukannya, tidak seperti orang-orag lain memperlakukannya. Dampar seolah tak pernah menganggap dirinya sebagai seorang PSK.

Malam itu Lastri merasa dirinya adalah benar-benar perempuan. Ia teringat akan mantan suaminya yang meninggal beberapa tahun lalu. Suami yang pernah memperlakukanya sebagai isteri yang baik. Betapapun kehidupannya nyaris jauh dari cukup, tapi keluarganya cukup bahagia kala itu. Namun sayang maut merenggut nyawa suaminya, justru di saat dia benar-benar butuh perlindungan, dengan anak yang masih kecil, dan seorang ibu yang mulai menua.

“Lho, kamu lagi melamun, ya?” suara Dampar menggugah lamunan Lastri.

“Katanya mau mandi, aku cuma sebentar, kok. Tapi mohon, terimalah ini, “lanjut Dampar kemudian.

“Apa ini, kamu nggak usah repot-repot,” timpal Lastri.

Dampar tersenyum. Ia memandang Lastri, dan mengatakan sesuatu yang pernah ditolak Lastri sebelumnya. Tapi hari itu terasa lain: ada sesuatu yang bahkan dirinya sendiri kurang mengingatnya, tapi Dampar telah mengingatkanya.

“Eh, apa kamu lupa? Ini hari jadimu. Selamat ulang tahun, ya?” Dampar mengulurkan jabat tangannya dan Lastri menyambutnya sambil tergangga. Belum sempat Lastri menanggapinya Dampar terburu melanjutkan kata-katanya.

“Aku serius, saat mengajakmu menikah malam itu. Begitu juga hari ini….”

Lastri terbungkam. Ia pernah mendengar Dampar mengajaknya menikah. Tapi Lastri tidak pernah yakin dengan mulut laki-laki berbau alkohol. Lagi pula, orang tua mana yang bersedia menerima menantu seorang pelacur seperti dirinya. Tapi hari ini, sesore ini, saat dirinya bisa menatap kelelahan teramat sangat di wajah lelaki di depannya, bulu kuduknya merinding. Sungguh, ada yang berdesir haru di dalam dirinya, saat ia mendengar lagi permintaan itu, tepat di hari ulang tahunnya.

“Tapi… tapi, “ Lastri tiba-tiba tergagap. Namun Dampar keburu pergi.

“Sudah terima saja. Aku buru-buru, semoga malam nanti kita ketemu, “ kata Dampar sambil pamit pergi.

“Terimakasih, ya…” kata Lastri lirih. Lirih sekali.

Lastri terduduk di ranjangnya, memandangi kado ulang tahun yang baru saja diberikan Dampar. Ia menunda keinginan untuk mandi. Tangan lentiknya pelan-pelan membuka bingkisan itu. Dirinya bercampur haru dan penasaran. Di pipinya air bening merembes dari sudut matanya yang terkoyak. Sudah lama, ia bahkan tak bisa menangis. Sudah lama, ia bahkan menelan nasibnya mentah-mentah, tapi hari ini, ya Tuhan… apa yang terjadi? Di dalam bingkisan itu Lastri mendapati sebuah ucapan dengan tulisan tangan:

“Selamat hari jadi. Semoga hidupmu indah hari ini. Semoga pada saatnya nanti, Tuhan membuat segalanya menjadi indah untuk kita. Amin.”

Lastri mengusap air mata di pipinya. Dikuat-kuatkan rasa harunya untuk membuka bungkusan di bawah kertas itu. Apakah masih ada seseorang yang pantas bagi sampah masyarakat semacam aku?, batinnya sambil merobek bungkusan kertas berwana putih itu. Lastri benar-benar tergugu di atas ranjangnya. Ia ingin menangis sejadi-jadinya. Ada perasaan mengharu biru yang menyesakkan dada. Ia semakin menjadi-jadi,  tubuhnya gemetar oleh perasaan haru bercampur bahagia. Bahagia? Entahlah. Ia hanya ingin memeluk Dampar saat itu.

“Duh, Gusti. Terimakasih. Mungkin Engkau telah memberikan hidayah tepat disaat ulang tahunku, dengan  mengirimkan seseorang yang akan membawaku pergi dari lembah nista, ini sebuah kado terindah dariMu….”

Lastri makin tergugu. Ia mendekap sebuah Alqur’an hadiah dari Dampar


____


theme song Mata Dewa - Iwan Fals 
Kolaborasi cerpen Coretan Embun dan Tjak Parlan 
also published Kompasiana

Mawar Merah Jambu






Embun masih betah mendekap erat di belahan bumi kota Bandung, tak terkecuali pagi ini dimana udara dingin masih menusuk-nusuk menembus tulang. Namun sebuah kios bunga di suatu sudut jalan, nampak sudah menggeliat bangun dan bergegas menyongsong bias mentari yang mulai merangkak dari ufuk Timur.


Masih seperti biasanya juga, seorang gadis harus mengurus bunga-bunga yang berserakan. Bunga bunga aneka macam itu harus ditata ulang agar terlihat menarik bahkan sangat menarik, untuk memikat para pecinta abadi yaitu bunga.

Ditemani suara ribut khas pagi hari kota Bandung, gadis itu mulai memompa semangatnya, tangannya lincah bermain di antara tumpukan aneka macam bunga lili, mawar, melati dan banyak lagi, sesekali dia juga harus mengusap keningnya, karena bulir peluh yang menetes…


Dia adalah Nilam, gadis cantik bermata indah, penjual bunga di sebuah sudut kota Bandung. Nilam sangat menyukai pekerjaannya sebagai penjual berbagai macam bunga, baginya bunga adalah simbol keabadian, karena wangi bunga tidak akan habis dimakan waktu, sampai kapan pun wangi itu tidak akan berubah. 

____ 

Pada pagi yang lain Nilam pergi bekerja seperti biasa, disaat yang sama kala embun masih mendekap dan hawa dingin menyeruak. Sesaat setelah Nilam tiba di kios bunga tempatnya bekerja nampak seorang pemuda yang sangat dikenalnya telah menunggu di bangku yang ada di pelataran parkir. Nilam menjadi sedikit gugup dan merasa bersalah karena pelanggan setianya datang mendahuluinya datang ke kios ini. Pemuda itu tersenyum melihat Nilam tergopoh gopoh bergegas membuka kios, nampaknya dia sudah menunggu lumayan lama.

“Biar, saya bantu...,” kata pemuda itu menawarkan jasa.

 “Terima kasih…,”ujar Nilam sambil tersenyum.

Pemuda itu adalah pelanggan setianya, biasanya dia membeli sebuket bunga Lili putih untuk menziarahi makam ibunya, tapi belakangan ini yang di belinya selain Lili adalah mawar merah jambu. Dia sedang jatuh cinta, pikir Nilam.

“Biasa mba..selain Lili saya juga ambil mawar yang merah jambu,” katanya sambil tersenyum pada Nilam.

Wajah pemuda itu berseri-seri, wajah seorang yang sedang jatuh cinta. Pemuda itu menjadi penyemangat Nilam setiap hari dalam memulai bekerja menjual bunga. Wajah tampan itu selalu menghiasi hari-harinya. Tapi Nilam hanya bisa memandang tanpa berani berbuat banyak. Nilam sadar dia hanya gadis penjual bunga biasa, melihat pemuda ini datang ke kios bunga pun sudah sangat bersyukur, paling tidak ada yang membeli bunga-bunganya.


 _____ 

Lama kelamaan merekapun saling mengenal walau komunikasi hanya sebatas hubungan antara pembeli dan penjual bunga. Pembicaraanpun hanya mengenai obrolan-obrolan singkat. Panca nama pemuda itu, mahasiswa semester akhir pada sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota Bandung, sekarang Panca sedang melakukan pendekatan dengan seorang mahasiswi baru di tempatnya kuliah. Dan dia baru saja berkabung, belum 40 hari ibundanya meninggalkan dirinya untuk selamanya. Itulah yang diketahui Nilam sedikit tentang Panca.

Nilam kembali menyeka keringat pada dahinya dan kembali merapikan aneka bunga yang berserakan. Hari ini Panca datang lagi ke toko bunga tempat Nilam bekerja. Sepertinya hari ini Panca akan sangat kecewa karena mawar merah jambu yang dibelinya kosong. Tanpa Nilam sadari Panca sudah berdiri di hadapannya.

“Maaf mas, tidak ada mawar merah jambu hari ini, tapi buket bunga Lili nya sudah saya siapkan,” kata Nilam.

“Sebenarnya saya tidak ingin membeli sebuket mawar merah jambu lagi,”kata Panca lalu terdiam.

“Mungkin ada pilihan lain,” kata Nilam sambil tersenyum dan menatap Panca.

Diluar dugaan Nilam, rupanya Panca sedang memandang wajahnya lekat. Panca memandang Nilam hampir tidak berkedip. Dipandang seperti itu Nilam menjadi jengah, dia pun menundukkan kepalanya tanpa berusaha bicara lagi kepada Panca.

“Nilam..bolehkan aku menyampaikan sesuatu kepadamu?,” suara Panca memecah keheningan. Tidak sepatah katapun keluar dari bibir mungil Nilam, dia hanya bisa mengangguk sambil menundukkan kepala dan wajah bersemu memerah.

“Nilam, aku suka padamu,” terdengar suara Panca setengah berbisik. Tapi bisikan itu bagi Nilam seperti bunyi petir yang menggelegar di pagi yang cerah.

 “Panca..aku cuma seorang gadis penjual bunga,” kata Nilam terbata bata dan Panca menatapnya semakin tajam, menusuk jantung.

 “Maukah kamu menjadi kekasihku,” kata Panca setengah berbisik.

 Nilam berdiri, dan menggapai tongkat penyangga kakinya yang cacat. Nilam kehilangan sebuah kakinya karena kecelakaan. Gadis itu membalas pandangan Panca dengan lembut. “Maafkan aku Panca…,” kata Nilam beranjak meninggalkan pemuda itu. Panca hanya diam. Tetapi dia berjanji tetap akan setia mengunjungi Nilam di toko bunga ini setiap hari sampai Nilam menerima cintanya. Panca tidak akan pernah menyerah.


 _____
theme song  Fur Elise - Beethoven
cerpen kolaborasi Coretan Embun dan Ndynata Ega
also published : Kompasiana

Langit Biru Lazuardi



Biru. Langit biru yang dia lihat tiap sore di kotanya perlahan lenyap berganti kelam kelabu. Rindu. Begitu rindu ia pada langit yang mencitrakan wajah ketenangan. Wajah biru yang hendak memberinya pelukan sehangat mantel bulu musang yang kekasihnya pakai. Blue moment, langit biru batu safir itu yang ia tunggu. Betapa sederhana cinta yang terkuas di hatinya, semacam kesederhanaan yang tak ia buat-buat, karena memang cuma itu yang ia punya. Cinta sederhana.

Ia hanya ingin memberi kekasihnya berlian biru dari angkasa, rona alam yang terbentuk alamiah, se-alamiah cintanya, itu saja. Dia perlu tunjuk langit pada mata coklat cintanya, keinginan yang hendak ia hadiahkan. Tanda cinta tanpa membeli adalah ketulusan cinta yang sejati.

Semacam cahaya Tuhan, katanya. Cahaya langit sore yang menyibak gerumbul-gerumbul awan yang menjadikannya biru, seakan menggambar segurat kesenduan pada langit kota itu. Kesenduan alamiah. Seperti kenangan yang perlahan ingin ia pilin kembali. Kenangan tentang kekasihnya yang telah lama pergi; Embun.

“Tahukah dirimu, nun jauh pada pandangan yang tertangkap mata ada seberkas cahaya yang tak tergapai,” katanya pada gerimis di suatu sore sebelum bayangan Embun menguap.

Dia tak pernah tahu bahwa Embun pergi karena langit kotanya itu telah berganti kelabu. Tugu-tugu pahlawan palsu. Air-air yang meluap-luap menelan segala yang ada. Tanah-tanah lembut yang telah berganti lantai beton tanpa mengindahkan bumi. Gedung-gedung pencakar langit yang menutupi kebiruan cahaya angkasa. Manusia di dalamnya bersibuk ria menimbun kekayaan untuk dirinya sendiri, memalsukan diri dengan kesemuan dan materialisme kemunafikan, kearifan sudah tak ada lagi di hati mereka. Pada kota yang kini telah lupa tentang keromantisan.

Tapi dia tak menyerah, cuma dia saja yang setia pada kealamiahan hidup. Sealamiah cintanya kepada Embun, dia percaya Embun akan kembali kepadanya. Kepada langit biru kotanya yang ingin ia persembahkan. Ia percaya, cuaca akan kembalikan langit birunya, Tuhan akan berikan itu. Bahwa hidup tidak melulu dirundung pilu, akan ada hari di mana keceriaan memeluk hangat sehangat cinta.

Bersama hujan yang dicurahkan dari langit kelabu kotanya, dia tetap menunggu cuaca yang entah kapan akan kembali damai dan tenang. Banjir air rob, angin ribut, tanah longsor, sesak udara yang terhirup seakan mencerminkan hati manusia yang hidup di dalamnya. Kotanya telah meninggalkan kultur budaya yang linuwih, keserakahan yang kini telah menjelma menjadi cuaca yang tak lagi bisa diramalkan.

Suatu saat di mana ceruk waktu mengulungkan ombak mengusik letih, dan kesendirian membawa airmata, Embun kembali menebarkan aroma pada fajar yang akan berubah menjadi kerinduan yang bermuarakan bahagia. Hari harinya hanya diisi dengan sebuah penantian panjang merindui Embun kekasihnya yang entah kapan akan datang.

Dinding dinding beton dengan sombong berdiri kokoh dan berkacak pinggang adalah penghalang. Gedung gedung tua yang kelabu dan bias mentari yang muram bertopang dagu adalah sebuah potret kehidupan yang mungkin membuat kekasihnya menghilang. Banjir masih setia mondar mandir memainkan pasang lalu surut, dan langit kelabu masih duduk sambil bermalasan dan enggan pergi meninggalkan kota ini.

“Siapa yang sedang mempermainkan remote control cuaca?” tanyanya, dan selalu ia bertanya tentang kegundahan hatinya.

“Duhh, Embun...bila kau pergi dan lenyap, siapa yang akan membangunkan aku tiap pagi? Selalu kurindukan kau datang kembali,” katanya pada siang bergerimis.

Bukan, bukan, Embun tak hanya kekasih hatinya yang pergi dan belum kembali. Tetapi Embun juga cinta bagi anak-anaknya yang merindukan dada ibunya.

“Aku juga ayah untuk anak-anakmu. Dan anak-anak kita juga perlu dadamu yang menawarkan cinta. Aku juga mengharapkan itu,” dia kembali berbisik pada gerimis siang di kotanya itu.

Ia menginginkan Embun kembali ke kotanya, dan ia berjanji akan menghadiahi Embun warna biru langit yang tak biasa. Warna biru mata anak-anak mereka yang menanti kehadiran ibunya. Hal itu ia lakukan karena tak mungkin mengubah mendung menjadi langit biru Lazuardi, dan ia bukanlah Tuhan yang bisa mewujudkan sesuatu yang tak mungkin. Ia sadar akan hal itu. Namun Embun tetaplah Embun, mungkin dia suatu saat akan percaya bahwa ayah dari anak-anaknya sanggup menghadiahkan langit biru Lazuardi.

Pagi di kotanya kembali menebarkan aroma, tapi kali ini berbeda. Ia bisa merasakannya. Tidak seperti pada pagi sebelumnya, pagi ini semerbak bunga menari-nari dari serumpun bunga melati. Ia pun beranjak dari peraduan sepinya menuju jendela kamar, dan disibaknya kelambu yang menghalanginya menyapu pandangan. Dan dilihatnya langit biru hadir pagi ini.

Seketika dia pun meloncat, bergegas menuju pintu depan rumahnya. Apa yang dinantikanya telah kembali. Embun telah kembali. Berdiri mematung di depan gapura rumahnya, rumah anak anaknya. Ia pun secepat kilat menghambur menyambut kekasihnya yang telah hadir di depan mata.

“Aku ingin menagih janji, mana langit biru yang kau janjikan,” bisik Embun pelan.

“Lazuardi itu ada di dalam,” katanya kemudian dengan suara bergetar.

Tak lama kemudian langit biru pun berhamburan memeluk Embun. Langit biru itu ada pada pancaran cahaya mata anak anak mereka. Yang bening dan menawarkan kedamaian siapapun yang melihatnya. Embun tidak kuasa meneteskan air mata. Lalu dipeluknya suaminya kemudian anak anaknya.

“Aku tetap akan bersama kalian apapun yang terjadi, tidak perlu mencari Lazuardi sampai ke Negeri Seribu Satu Malam,” Embun berkata pelan pada dirinya sendiri.


- Sekian -


theme song Vivaldi - Four Season (winter)
kolaborasi cerpen : Coretan Embun dan Peran Sabeth Hendianto
also published :Kompasiana

Rabu, 08 Februari 2012

Pertemuan di Suatu Malam



“Aduhhh sial banget…,” aku bergumam dan kertas kertas yang sedang  kurapikan berhamburan kembali.
Dengan terburu buru kukemasi kertas kertas yang berserakan di atas meja kerjaku. Aku panik karena belum pernah aku pulang selarut ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 wib dengan sedikit berlari aku menuju lift dan sepanjang lorong perkantoran sudah tampak sepi dan gelap gulita. Sambil menunggu pintu lift terbuka aku merasa sedikit takut karena gedung ini benar benar sepi dan mengerikan. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, Aku pun mulai komat kamit baca doa.

Begitu pintu lift terbuka tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam. Di dalam lift ternyata ada seorang pria. Agak lega juga karena aku tidak sendirian dalam lift tersebut. Aku pun melangkahkan kaki memasuki lift dan membelakangi pria tersebut.

“Hi…baru pulang juga?” tanya pria di belakangku.Sebenarnya malas juga mau menjawabnya, tapi karena demi sopan santun dan sikap ramah akhirnya aku pun berbalik dan membalas sapaan pria tersebut.


“Iya…” jawabku sambil tersenyum. Dan ternyata  pria itu adalah Reza yang selama ini menarik perhatianku.

Aku dan Reza bekerja di Perusahaan yang sama tapi lain divisi. Sudah lama aku suka dengan pria ini, tapi tampaknya Reza acuh sekali. kesempatan ini tidak kusia-siakan, malam ini aku merasa sangat beruntung dapat bertemu dengannya.

“Gak takut apa.. malem malem pulang jam segini?” Reza kembali bertanya. Aku menggeleng pelan tampak sekali ada keraguan di raut wajahku. Nampak jelas sekali kalo sebenarnya aku ketakutan untuk pulang sendiri.

“Oh iya…kenalkan saya Reza…”pria itupun mengulurkan tangannya -udah tau mas- bisikku dalam hati.

“Saya Ami…” jawabku ramah. Kitapun berjabat tangan.

“Ok Ami, kamu dijemput? atau pulang sendiri??” Reza kembali bertanya.

“Pulang sendiri mas...” jawabku ragu ragu.

“Aduh !!..hati hati lho, saya anter aja deh…gak tega ngeliat cewe pulang sendiri, apalagi sekarang sedang banyak kejahatan yang menimpa kaum perempuan…gimana?” tanya Reza. Iya juga pikirku, toh Reza satu kantor kenapa enggak. Akhirnya kuputuskan pulang bareng Reza.

“Oke Rez..kalo kamu gak keberatan dan gak ngerepotin kamunya ya…” kataku kemudian.

Kami pun berjalan beriringan keluar dari gedung perkantoran tersebut. Kebetulan kami juga sama sama tidak membawa kendaraan pribadi. Sambil berdiri mematung di pinggir jalan dan kami terdiam tanpa banyak bicara sambil menunggu kendaraan umum yang akan kami tumpangi.

Dari kejauhan tampak segerombolan pemuda berandal menuju ke arah kami berdiri, jumlahnya sekitar 6 atau 7 orang. Tiba tiba Reza menggenggam tanganku.

“Mereka itu perampok…kita harus cepat cepat lari dari sini Ami…ikuti aku ya!” kata Reza. Secepat kilat Reza menarik dan setengah menyeret tanganku. Benar saja gerombolan berandal itu serta merta mengejar kami.

“Lewat sini Ami...” kata Reza.

Kami berlari secepat kilat melewati batu-batu nisan di area perkuburan Karet di daerah sekitar Bendungan Hilir. Tiba tiba Reza memelukku. Dia berusaha melindungi aku. Reza dihujami belati berulang kali tepat mengenai punggungnya. Darah segar membasahi sekujur tubuhku. Kemudian aku pingsan.
___

Kejadian itu terjadi sekitar seminggu yang lalu. Peristiwa itu menggoreskan trauma pada diriku. Hari ini aku kembali bekerja seperti biasa. Teman teman sekantor menyambutku dengan penuh suka cita.

“Selamat bekerja kembali, Ami…” sahabatku Desi datang memelukku.

“Terima Kasih.., bagaimana keadaan Reza, Desi ?”ujarku.

“Reza?…dia mengalami nasib yang sama sepertimu Ami, sayangnya dia meninggal karena tusukan belati berulang kali ditubuhnya” jawab Desi dengan wajah bingung. Aku menatap Desi dengan nanar dan perasaan tak karuan.

“Dia yang melindungi aku ..dari tikaman para pemuda brandal itu, aku...aku tidak sempat lagi berterimakasih padanya” kataku dengan sedih.

“Bagaimana mungkin Ami? Reza meninggal sebulan yang lalu…”kata Desi kemudian. Jadi.....

Tanpa terasa aku menitikan air mata, ternyata Reza sudah meninggal sebulan yang lalu. Bagaimana mungkin arwah Reza telah melindungi aku. Tiba-tiba ada perasaan rindu. Baru kali ini aku merindukan dan berharap kembali bertemu sesosok arwah yang kutemui dalam lift…pada suatu malam yang naas.


 - Selesai -

theme song : Wonder Gel - I miss U


"Griyo Ageng Ki Demang"


Gadis belia itu berdiri mematung memandang batang-batang tebu yang tumbuh dengan kokoh di depannya. Dengan mata berkaca kaca gadis itu menatap lelaki muda di sampingnya.

“Maafkan aku Rangga, semua kulakukan karena ingin membebaskan bapakku dari belitan hutang,” ujar Gendis  lirih.

“Aku mencintaimu, Gendis,” ujar Rangga setengah berteriak.

Gendis tak kuasa untuk berkata lagi, gadis itu berlari menerobos hamparan batang tebu yang berdiri dengan congkak diiringi teriakan Rangga, laksana 'lolongan serigala yang sangat memilukan.'

Gendis kini telah menjadi istri keempat Ki Demang, seorang yang berpengaruh di kampung ini. Dengan duduk bersimpuh Gendis menundukkan kepala tanpa berani menatap wajah lelaki yang lebih tua dari umur bapaknya itu. Gendis dipeluk dengan kasar dan tetesan airmatanya jatuh menyatu dengan buliran peluh lelaki itu. Seusai -ritual- dengan tertatih Gendis beringsut meninggalkan peraduan. Kemudian keluar ruangan sambil berlinangan air mata, menahan perih dan menanggung kegetiran batinnya.

Sejak kehadiran Gendis di ” Griyo Ageng”  Ki Demang tidak berniat memperistri gadis lain. Tampaknya lelaki itu telah jatuh hati pada Gendis. Malam-malam pun berlalu dan Gendis dapat menyesuaikan diri. Ki Demang pun tampak semakin sering bersama Gendis. Hal ini menimbulkan kecemburuan para istri lainnya. 

Sampai  suatu ketika ...
Hubungan Gendis dan Rangga belum berakhir. Mereka selalu bertemu tepatnya di sekitar beringin tua tak jauh dari Griyo Ageng, rumah utama milik Ki Demang. Seperti malam malam sebelumnya, Gendis berjingkat jingkat keluar dari Griyo Ageng, untuk menemui Rangga.

” Rangga, di manakah dirimu?”  bisik Gendis.

Hanya kesunyian yang menghampiri tanpa suara gemerisik daun kering yang terinjak seperti biasanya. Dan Gendis pun melihat Rangga sedang duduk tertunduk di bawah pohon beringin tua. Lalu dihampirilah sang kekasih yang tampak seperti tertidur lelap. Gendis mengangkat lembut wajah Rangga dengan kedua belah tangannya. Gendis terperanjat dan seketika menjerit.  Mata Rangga terbelalak dan sebilah keris menancap di tengkuk pemuda itu dengan punggung bersimbah darah. Bau anyir menyeruak. Rangga terbunuh.

Gendis menjadi gila semenjak kematian kekasihnya, Rangga.  Gendis tidak dibutuhkan lagi di Griyo Ageng, dia pun dibuang begitu saja. Sampai akhirnya terdengar bisik bisik warga kampung bahwa Ki Demang kembali akan memperistri seorang gadis belia bernama Menur.

Kehadiran Menur di Griyo Ageng menggantikan posisi Gendis menjadi istri muda kesayangan Ki Demang. Pada suatu malam, Menur mendengar 'lolongan serigala yang sangat memilukan' diiringi bisikan halus yang memanggil namanya.  Bagaikan terbius Menur mengikuti bisikan halus yang mengantarkannya pada sebuah pohon beringin tua.  Di sana berdiri sesosok lelaki berwajah pucat yang menatapnya dingin sambil tersenyum menyerigai.

“Gennndiiiissssss...” terdengar suara lelaki berbisik di ujung sana.

“Aku di sini, Rangga,” ujar Menur.

Dan mulai saat itu Menur meyakini bahwa sosok lelaki itu 'adalah kekasihnya.' Seekor burung hantu hinggap di reranting beringin tua ,dan menjadi saksi bisu, sepasang kekasih dari dunia berbeda sedang memadu kasih. Burung hantu itupun menitikkan air mata.



~SEKIAN~