Sabtu, 09 November 2013

Seda Mutieva



Sore yang dingin di suatu taman kota Grozny, Chechnya. Aku sedang menunggu seseorang di taman ini. Seorang laki-laki yang berasal dari sebuah negara di Asia, Indonesia. Ia datang ke negaraku sebagai seorang photographer yang tertarik mengabadikan lebih jauh budaya tradisional Chechnya. Aku mulai cemas ia tidak jadi menemuiku saat ini. Dan membatalkan seluruh rencanaku dengannya. Sebuah rencana tentang masa depan…..

Pertemuan pertamaku dengannya terjadi saat aku dan beberapa penari tradisional sedang berlatih di sebuah studio senitari Grozny. Pada saat itu ia datang ke studio dengan menggunakan taksi bandara. Ia datang atas undangan dari Amina Ibraginova, pemilik studio tempat kami berlatih menari. Amina dan laki-laki itu masih mempunyai hubungan kekerabatan.

” Good afternoon, I have appointment with Amina Ibraginova,” kata laki-laki yang lalu kukenal bernama Djoko.

” Please waiting here sir, Amina Ibraginova already in her office room,” kataku sambil mempersilahkannya duduk di kursi panjang yang berhadapan dengan tempat kami berlatih menari.

Ia memandangku lalu tersenyum hangat. Ada sesuatu yang aneh pada diriku. Degub jantungku berdetak kencang memicu aliran darah yang membuat kedua pipiku bersemu memerah. Aku belum pernah dipandangi lelaki seperti ini.

Bagi perempuan Chechnya berhubungan dengan lelaki adalah hal yang tabu dan dilarang. Negara ikut mengatur hal ini, dan bila dilanggar akan ada hukuman berupa sanksi sosial. Sepasang kekasih yang berkencan harus bertemu di tempat umum dan duduk saling berjauhan. Berpegangan tangan, berpelukan apalagi berciuman dilarang keras sebelum pernikahan.

Setelah mempersilahkan lelaki itu menunggu, aku pun menuju ruangan miss Amina Ibraginova untuk memberitahu tentang kedatangan tamunya.

” Miss Amina already waiting for you sir, you don’t need to knock - just go into her room.”

” Okay, thanks. Just call me Djoko, I’m her cousin,” katanya sambil kembali tersenyum. Senyum itu mampu membuatku meleleh. ” What’s your name miss?” katanya kemudian sambil menatap lekat wajahku.

” Seda Mutieva,” kataku singkat sambil menundukkan wajah untuk menyembunyikan rona merah pipiku dan berlalu dari hadapan laki-laki yang berumur sekitar 30an itu.

Itulah awal pertemuanku dengan Djoko. Nama yang sangat Indonesia, menurut laki-laki itu. Djoko masih berdarah Rusia dari pihak ibu. Sementara Ayahnya berdarah campuran Jawa Solo dan Manado. Nama lengkapnya Miko Djokovic dan ia lebih suka dipanggil Djoko.

Djoko sangat mencintai hal-hal yang berbau seni dan kebudayaan. Di negaranya Indonesia, terdapat berbagai macam suku agama dan budaya yang beraneka ragam. Hal ini membuat Djokovic lebih suka menjadi warga negara Indonesia daripada menjadi warga negara Rusia.

***

Sore itu setelah pulang berlatih menari aku menyusuri jalanan kaki lima kota Grozny yang dingin dan lembab. Gerimis mulai turun dan aku mempercepat langkah kakiku. Kudengar seseorang berlari di belakangku dan memanggil namaku. Aku pun menoleh ke belakang dan melihat Djokovic sedang melambaikan tangan padaku.

Langkahku terhenti, sesaat kemudian Djokovic sudah berdiri tepat di depanku. Sangat dekat. Kedua mata kami saling menatap lekat dan aku kembali merasakan detak jantungku berdegub kencang. Aku berharap dia tidak mendengarnya. Aku mundur beberapa langkah dan memberi isyarat padanya untuk menjaga jarak. Aku tidak ingin mendapat masalah dengan pihak berwenang. Aku benar-benar takut melanggar hukum. Di Chechnya saat ini sedang mengalami proses perubahan bentuk budaya masyarakat setempat. Yang awalnya 
beraliran komunis kini beralih menganut paham Islamisasi yang fanatik.

Setelah hampir dua dekade jauh dari rasa damai akibat peperangan. Dan kurang lebih 70 tahun berada di bawah tekanan pemerintahan Uni Soviet. Pada saat itu segala bentuk partisipasi keagamaan dilarang oleh pemerintah Soviet yang beraliran komunis. Dan kini pemerintah negaraku mempromosikan Islam untuk memperkuat tradisi Chechnya.

” Can I call you latter miss Seda, what’s your number?” Ia bertanya padaku. Suaranya tegas tapi sangat lembut hingga membelai kedua gendang telingaku. Aku mengangguk lalu mengambil sebuah kertas dari dalam tas, secarik kertas bekas struk belanjaan. Aku pun menuliskan nomer ponselku lalu cepat-cepat kuserahkan secarik kertas itu padanya. Aku berbalik lalu pergi meninggalkannya dengan setengah berlari karena hujan mulai deras.

” Thank youuu !” Kudengar Djokovic berteriak hingga gaungnya memantul di sepanjang lorong jalanan yang kulalui. Aku berbalik, melambaikan tangan dan tersenyum padanya dari kejauhan. Lelaki yang menarik.

***

Keesokan harinya…..

Amina Ibraginova, siang itu mengadakan rapat kecil. Wanita itu memberitahukan pada kami bahwa pemerintah Chechnya masih belum mengijinkan pementasan tarian kami yang akan berlangsung minggu depan. Kami, para penari sudah tentu merasa kecewa. Tapi yang membuatku senang adalah Djokovic jadi lebih lama berada di Grozny.

” Hello..” Suara khas Djokovic menyadarkanku pada lamunan akan dirinya.

” Hi, how are you?” Kataku membalas teguran ramahnya. Laki-laki ini makin menarik hatiku. Ia mulai bercerita panjang lebar meluruhkan segala sekat yang ada hingga aku merasa akrab dan nyaman ngobrol dengannya.

” Someday you must visit to Indonesia, the most beautiful country.”

” Yes I wish gonna be there, someday,” kataku bersemangat setelah mendengar cerita tentang keindahan budaya Bali yang terkenal dengan tari pendet dan kecak. Ataupun tentang kultur budaya jawa yang memiliki berbagai macam tarian yang tak kalah menariknya.

Pertemuan demi pertemuanku dengan Djokovic berjalan lancar. Hingga aku semakin giat berlatih menari. Djokovic selalu meluangkan waktunya untuk sekedar ngobrol denganku. Sambil sesekali mengambil foto-foto kami untuk dijadikan dokumentasinya.

Aku dan teman-temanku sesama penari tetap dengan suka cita berlatih. Walaupun pementasan tarian kami belum mendapat ijin dari pemerintah Chechnya. Entahlah, sepertinya terdapat banyak kecurigaan dari pihak berwenang atas segala kegiatan yang berlangsung di Chechnya. Terutama bila kegiatan tersebut diliput oleh jurnalis asing atau para aktivis hak asasi manusia.

Di Chechnya, rata-rata para perempuan tidak sampai menyelesaikan pendidikannya. Sebagian dari mereka kadang harus menikah dalam usia yang relatif sangat muda. Setelah menikah perempuan Chechnya adalah properti milik suami mereka. Hal ini yang membuatku berontak walau hanya dalam hati. Karena aku ingin dapat meneruskan sekolah untuk menggapai cita-citaku dan juga menjadi penari profesional. Aku tidak ingin cita-citaku kandas hanya karena harus menikah muda, sesuai tradisi di negara ini.

Ibra Isaev baru berusia 20th, dia adalah calon suamiku. Kedua orang tuaku memutuskan untuk menikahkanku dengan Ibra Isaev. Aku sendiri baru berusia 18th. Aku tidak mengenal laki-laki itu sama sekali. Melihat wajahnya pun belum pernah. Lalu bagaimana aku dapat mencintai laki-laki itu. Yang ada dalam pikiran dan hatiku saat ini adalah Miko Djokovic. Laki-laki asing yang mampu membuatku selalu memikirkannya.

Jiwaku mulai berontak. Aku tidak akan menikah dengan Ibra Isaev. Aku akan menemui Miko Djokovic untuk membicarakan hal ini. Aku yakin Djokovic bisa menolongku untuk mendukung meraih cita-citaku. Laki-laki itu mempunyai kesamaan cara pandang denganku. Djokovic adalah seorang yang cerdas dan hal ini membuatku sangat nyaman berdiskusi dengannya. Pandangan hidupnya membuatku terpesona padanya. Ia juga sangat menghargai perempuan tanpa harus membatasi hak-haknya. Menurutnya perempuan juga harus mendapat hak yang sama untuk maju dan berkembang.

Kami pun bertemu secara sembunyi-sembunyi di sebuah tempat yang jauh dari keramaian publik. Sebuah rencana telah tersusun antara aku dan Djokovic. Rencana untuk membatalkan pernikahanku dengan Ibra Isaev, lelaki yang tidak aku ketahui wujud dan pribadinya.

” Miss Seda, are you ready dear ?” Suara Djokovic memecah kesunyian taman kota Grozny. Aku mengangguk dan memberi isyarat padanya agar segera meninggalkan taman kota ini. 

Taksi yang kami tumpangi lalu melesat menuju Bandara Internasional Grozny.
Dengan bantuan Amina Ibraginova, Djokovic mengurus passport-ku untuk dapat meninggalkan Grozny dan pergi bersamanya.

” Selamat tinggal Chechnya….” kuucapkan selamat tinggal pada negaraku dari jendela pesawat yang sedang take off menuju Jakarta, Indonesia.

***




__________

Tidak ada komentar: